“Bandung! Bandung! Bandung!”
“Kenapa
dengan Bandung?”
“Nggak
tahu, rasanya aku sudah rindu..”
“Pada
Bandung?”
“Pada
Bandung..”
“Pada
Mar? Sudah tidak lagi, rupanya?”
“Sudah lebih, Jun. Lebih, kukira."
"Lebih apa?"
"Lebih rindu lagi.”
(Juni menghela napas, menengadah menatap hamparan langit biru itu seakan sudah pusing menghadapi egoku.)
"Lebih apa?"
"Lebih rindu lagi.”
(Juni menghela napas, menengadah menatap hamparan langit biru itu seakan sudah pusing menghadapi egoku.)
“Apa
masih belum capek? Apa masih belum jera?!
Kamu kan, tahu sendiri. Nggak
ada yang jamin kalau Bandung di bulan Juni bisa kasih kesempatan lebih buat bahagia..”
“Ya,
aku tahu..”
“Jadi,
yakin masih rindu? Yakin masih tetap mau coba?”
“Yakin, Juni.. Aku yakin seyakin-yakinnya."
"Ayo,
pulang. Kita ke Bandung sekarang juga.
Entah apa yang akan kita temui di sana, tapi kita ke Bandung sekarang juga.”
Entah apa yang akan kita temui di sana, tapi kita ke Bandung sekarang juga.”
-Perihal
Juni (Part 2)
--------------------------------------------------------------
Hari itu tanggal 3 Juni pukul 5.12 sore hari. Hari yang hangat cenderung gerah dengan bayang-bayang Mar yang selalu menghantui. Entah itu subuh, entah itu petang. Dalam anganku selalu hanya ada dia seorang di setiap jarum detik yang berdetak.
"Bagaimana kabarnya di Bandung?"
"Butuh berapa ribu menit lagi hingga jarak mau melepaskan
cengkeramannya di setiap ruas nadiku?"
"Butuh berapa juta detik lagi sampai waktu mau berhenti
mengikis kewarasanku?"
Aku bertanya-tanya.
Aku bertanya-tanya pada setiap kali matahari terbenam begitu pula setiap kali purnama tersingkap dari awan-awan.
Aku bertanya-tanya pada setiap kali matahari terbenam begitu pula setiap kali purnama tersingkap dari awan-awan.
Aku bertanya-tanya.
Lagi.
Dan lagi.
Tanpa kenal bosan, tanpa tahu lelah. Tanpa sempat berpikir untuk menyerah dan menyudahi semua kisah yang sudah kususun sedemikian apiknya sejak bulan Maret itu pada awal Juni.
Lagi.
Dan lagi.
Tanpa kenal bosan, tanpa tahu lelah. Tanpa sempat berpikir untuk menyerah dan menyudahi semua kisah yang sudah kususun sedemikian apiknya sejak bulan Maret itu pada awal Juni.
Kenapa??
Kenapa nggak menyerah saja waktu itu? Kenapa harus rela bertahan padahal kemarin-kemarin kan, dia sudah bilang jika maunya hanyalah kembali lagi ke paragraf pertama di mana semuanya belum jadi sekompleks ini denganku.
Kenapa nggak menyerah saja waktu itu? Kenapa harus rela bertahan padahal kemarin-kemarin kan, dia sudah bilang jika maunya hanyalah kembali lagi ke paragraf pertama di mana semuanya belum jadi sekompleks ini denganku.
"Ya, mauku juga begitu, Mar.."
Jika seandainya aku bisa menerawang apa yang akan
terjadi di bulan Juni ini sejak April, sudah pasti aku juga lebih memilih
untuk nggak akan membuka celah pintuku sama sekali.
Untuk siapapun, mungkin nggak hanya untukmu.
Seperti halnya kamu yang mungkin
juga berpikir untuk nggak akan pernah mengetuk pintuku sama sekali.. Bukan begitu?
Mar, Mar.
Mar, Mar.
Lagi-lagi kita berandai-andai, ya.
Lagi-lagi, kita cuma bisa berandai-andai seperti ini sampai tiba waktunya untuk benar-benar membunuh semua pengandaian itu tanpa tersisa.
Persis seperti apa yang akan kita lakukan beberapa saat nanti.
Teleponku berdering sebanyak tiga kali sampai setelah itu mati sendiri karena nggak sempat terangkat olehku. Lalu setelah itu pesan masuk nggak berhenti.
Jujur saja. Bunyinya mengganggu, Mar.
Bunyinya sangat mengganggu karena aku sudah bisa menebak bahwa pesan-pesan tersebut pasti kamu yang kirim.
Sementara tantangan terbesarku saat itu adalah mencoba untuk nggak menantikan bunyi lonceng notifikasi sialan apapun meskipun nyatanya aku gagal untuk nggak menanti-nantikannya sepanjang hari.
Sesulit ini ya.. rasanya 'dipaksa' untuk beradaptasi?
Membiasakan diri untuk nggak berharap akan notifikasi apapun darimu pada kenyataannya lebih sulit dari yang kubayangkan sebelumnya.
Aku belum siap, Mar.
Saat kutanya kenapa, ini jawabanmu.
Satu bulan terasa seperti setahun sampai tiba saatnya jarak ini sudah harus kupotong dengan senyuman paling indah sedunia.
Hari itu tanggal 12 bulan 6, aku mengingatnya sebagai hari pertemuan kembali yang paling aneh dan ganjil menurut logika yang kupunya.
Aneh karena.. seharusnya sih, nggak begitu waktu itu.
Sudah capek-capek aku menantikannya selama sekian minggu tapi ternyata setelah harinya tiba, semuanya malah nggak sesuai sama ekspektasiku.
Apa mungkin cuma aku yang terlalu berharap macam-macam?
Iya, sih.. Kayaknya itu memang sudah penyakit kronisku dari dulu. Aku sudah tahu sekarang, jadi sebisa mungkin nggak perlu kuulangi lagi.
Dulu, aku terlalu menuhankan ekspektasi dan terlalu mudah bergantung pada harapan yang semu.
Dulu, aku hanya nggak mengerti apapun tentang rumitnya perasaan.
Jujur saja aku terkejut karena aku nggak pernah membayangkan ini sebelumnya. Seorang Mar baru saja mengajakku nonton film dongeng musikal tentang seorang putri yang jatuh cinta pada pencuri saat seharusnya dia punya jadwal keluar sama teman-temannya di hari itu.
"Tapi aku lebih suka di pinggir." sanggahmu.
"Ya, sudah. Kalau begitu di pinggir.."
Lihat?
Hari itu hari Rabu, kamu pergi menginap di villa bersama teman-teman sekelasmu sementara aku sibuk menyiapkan porto untuk seleksi masuk kuliah. Hari itu dingin, katamu. Kamu bahkan nggak bisa menyentuh air saat teman-temanmu justru sedang saling banjur di halaman.
Persis seperti apa yang akan kita lakukan beberapa saat nanti.
---
[ P a k e t R i n d u ]
Teleponku berdering sebanyak tiga kali sampai setelah itu mati sendiri karena nggak sempat terangkat olehku. Lalu setelah itu pesan masuk nggak berhenti.
Jujur saja. Bunyinya mengganggu, Mar.
Bunyinya sangat mengganggu karena aku sudah bisa menebak bahwa pesan-pesan tersebut pasti kamu yang kirim.
Sementara tantangan terbesarku saat itu adalah mencoba untuk nggak menantikan bunyi lonceng notifikasi sialan apapun meskipun nyatanya aku gagal untuk nggak menanti-nantikannya sepanjang hari.
Sesulit ini ya.. rasanya 'dipaksa' untuk beradaptasi?
Membiasakan diri untuk nggak berharap akan notifikasi apapun darimu pada kenyataannya lebih sulit dari yang kubayangkan sebelumnya.
Aku belum siap, Mar.
Jujur saja waktu itu aku rasa aku hanya butuh waktu sedikit lebih lama lagi.. Andai kamu sudi memberikanku sedikit hati.
Sore-sore begini, rasanya sudah nggak
mungkin lagi kamu menghubungiku tanpa sebab—seperti dulu lagi—tentunya setelah pembicaraan emosional kita kemarin siang.
Aku sudah bisa menebak.
Aku sudah bisa menebak.
Nggak bukan dan nggak lain, pasti ini pertanda kalau paket
pemberianku sudah sampai di tanganmu, kan, Mar?
Ya, paket itu. Paket rinduku yang berhasil membuatmu terlarut dalam bait-bait lagu You Take My Breath Away hingga purnama datang menyapa.
Ya, paket itu. Paket rinduku yang berhasil membuatmu terlarut dalam bait-bait lagu You Take My Breath Away hingga purnama datang menyapa.
"Makasih banget."
"Aku nggak tahu harus bilang apa lagi..”
Katamu waktu itu.
Entah bagaimana nada bicaramu seharusnya karena aku cuma bisa menerka-nerka bagaimana bunyi suaramu itu dari tulisan komputer yang terpampang di atas ponsel. Seekspresif-ekspresifnya kamu, pasti bakal datar-datar saja, sih.
"Aku nggak tahu harus bilang apa lagi..”
Katamu waktu itu.
Entah bagaimana nada bicaramu seharusnya karena aku cuma bisa menerka-nerka bagaimana bunyi suaramu itu dari tulisan komputer yang terpampang di atas ponsel. Seekspresif-ekspresifnya kamu, pasti bakal datar-datar saja, sih.
“Wangi kamu banget, benda-benda ini."
"Kenapa sih, harus kasih ini sekarang kalau pulangnya saja masih lama banget?"
"Kapan pulang?"
"Aku rindu.”
"Rindu sekali.."
'Rindu,' katanya.
Seorang Mar rindu padaku, katanya.
Dan untuk pertama kalinya, Mar bilang dia rindu. Untuk pertama kalinya juga, aku bisa mendengar ekspresi lain dari dirinya di bulan Juni.
Bukankah ini sebuah pencapaian besar bagi manusia setengah robot seperti dia?
Waktu itu aku nggak membalas kata rindumu meskipun perasaanku nyatanya nggak inginnya begitu. Yang kulakukan cuma tersenyum dari bilik kamar dan bilang padamu terima kasih kembali.
"Terima kasih sudah bilang terima kasih. Terima kasih sudah mau menerima. Terima kasih sudah menjadi alasanku hingga detik ini."
"Terima kasih sudah bilang terima kasih. Terima kasih sudah mau menerima. Terima kasih sudah menjadi alasanku hingga detik ini."
Senang sekali rasanya bisa melihatmu kalah melawan gengsi di hari itu.
"Satu minggu lagi, Mar." jawabku. "Satu minggu lagi aku pulang ke Bandung."
Satu
minggu lagi untuk kita harus bertahan dalam jarak dan waktu, tapi obat penenang
pemberianku itu nyatanya cuma memberikan efek jarak yang terasa jadi semakin renggang dan waktu yang malah terasa jadi
semakin lambat bergulir setiap detiknya. Aku nggak tahu kalau nyatanya semua itu cuma bikin kamu terlihat semakin plin plan denganku. Apa caraku salah?
Mar tahu, nggak? Kalau kamu selalu pandai membuatku bingung dalam setiap situasi yang ada.
Kemarin
hari kamu baru saja mengomel panjang lebar, bertindak seolah-olah sudah mau membuang dan nggak membutuhkan keberadaaanku lagi sama sekali. Lalu hari ini kamu mengemis
kasih? Bicara begitu, seakan-akan memang nggak ingin kehilanganku untuk selama-lamanya.
Memusingkan.
Tolong sadarlah kalau kamu itu sangat memusingkan, Mar!
Tolong sadarlah kalau kamu itu sangat memusingkan, Mar!
Tapi di sisi lain, dengan begini aku jadi tahu soal rasa yang sesungguhnya di balik
dingin nadamu itu. Meskipun seharusnya nggak benar-benar kuterjemahkan 'sesungguhnya' itu dalam arti yang sebenar-benarnya.
Namun entah bagaimana pada hari itu, aku tiba-tiba berpikir jika rasa rindu yang setiap malam kutabung dalam senyap itu ternyata
kamu juga punya. Nggak tahu apakah ini adalah pertanda baik yang Juni kasih buatku atau justru malah sebaliknya.
Semesta mungkin nggak akan pernah kasih aku kesempatan untuk mendengarmu mengaku rindu atau memohon padaku agar lekas bertemu seandainya waktu itu—waktu bulan Mei—aku dan Na nggak memutuskan untuk membuat rencana nekat yang macam-macam seperti apa yang baru saja kamu terima pada sore hari itu.
Aku di masa sekarang sama sekali nggak menyesal, kok.
Aku nggak menyesal sudah memberikannya padamu dengan sepenuh hati seperti itu, Mar. Kenapa aku harus menyesali sebuah perbuatan baik? Toh, perbuatanku nggak salah. Perasaan ini pun nggak bisa disalahkan seenaknya.
"Dalam sangkaku, kita harus tetap berbuat kebaikan sekalipun yang kita tuai adalah kesengsaraan."
Semesta mungkin nggak akan pernah kasih aku kesempatan untuk mendengarmu mengaku rindu atau memohon padaku agar lekas bertemu seandainya waktu itu—waktu bulan Mei—aku dan Na nggak memutuskan untuk membuat rencana nekat yang macam-macam seperti apa yang baru saja kamu terima pada sore hari itu.
Aku di masa sekarang sama sekali nggak menyesal, kok.
Aku nggak menyesal sudah memberikannya padamu dengan sepenuh hati seperti itu, Mar. Kenapa aku harus menyesali sebuah perbuatan baik? Toh, perbuatanku nggak salah. Perasaan ini pun nggak bisa disalahkan seenaknya.
"Dalam sangkaku, kita harus tetap berbuat kebaikan sekalipun yang kita tuai adalah kesengsaraan."
Kalau harus dipaksa jujur, aku
juga rindu sekali padamu di hari itu, Mar.
Aku selalu rindu padamu setiap hari, setiap jam, setiap nama satuan waktu yang ada di dunia, namun sudah
kuputuskan untuk diam saja dan nggak melakukan apa-apa selain mengembangkan senyumku dalam
hati. Rasanya nggak adil kalau harus kuucapkan rinduku lagi dan lagi karena kupikir selama ini aku sudah terlalu banyak merindu dan merana sendirian.
Nggak adil karena rasanya kamu baru merindukanku satu kali saat aku sudah sejuta kali.
Aku masih ingat bagaimana kata-katamu waktu itu di tanggal tiga. Sekarang pun aku masih ingat. Aku ingat karena kata-katamu menusuk terlalu dalam dan mengoyak-ngoyak jantungku seperti domba putih yang diterkam oleh si serigala dengan meninggalkan banyak bekas luka yang nggak baik-baik aja.
Aku masih ingat bagaimana kata-katamu waktu itu di tanggal tiga. Sekarang pun aku masih ingat. Aku ingat karena kata-katamu menusuk terlalu dalam dan mengoyak-ngoyak jantungku seperti domba putih yang diterkam oleh si serigala dengan meninggalkan banyak bekas luka yang nggak baik-baik aja.
"Kitanya nggak berubah, hanya aku yang memang sudah nggak bisa sama lagi. Sikapku mungkin akan berbeda. Caraku memperlakukanmu mungkin akan berbeda. Aku nggak bisa jadi Mar yang kamu kenal lagi. Aku nggak akan jadi Mar yang kamu sukai itu lagi."
Saat kutanya kenapa, ini jawabanmu.
"Karena itu cuma akan mengganggu adaptasiku. Mengerti, nggak?"
Sakit, sih. Hati mana yang nggak akan terluka, aku tanya?
Sesuai katamu, Mar.
'Gladi berpisah', 'Mengindari ketergantungan', 'Adaptasi.'
Aku terlanjur jadi budakmu, jadi aku menuruti semua katamu tanpa tapi, sekalipun itu bertentangan dengan apa yang kurasakan jauh di lubuk hati.
Sesuai katamu, Mar.
'Gladi berpisah', 'Mengindari ketergantungan', 'Adaptasi.'
Aku terlanjur jadi budakmu, jadi aku menuruti semua katamu tanpa tapi, sekalipun itu bertentangan dengan apa yang kurasakan jauh di lubuk hati.
Dan sekarang aku sadar kalau itu adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan dalam hidup: menuruti semua keinginanmu dengan mengorbankan kebahagiaanku sendiri.
Ingin sekali rasanya aku menjerit keras-keras di atas tebing lalu mendorong diriku ke laut saat menuliskan bagian ini.
Aku begitu berdosa pada diriku sendiri,
Aku begitu menyedihkan dan berdosa pada diriku sendiri.
Maaf karena sudah berbohong pada diriku sendiri dan selalu mengatakan semuanya baik-baik saja selama ini.
Maaf karena sudah selalu mau dibodohi dan dipaksa menelan rasa sakit yang nggak kunjung habis itu seorang diri.
Maaf karena sudah banyak menangis.
Maaf karena sudah jadi versi dirimu yang paling lemah dan nggak berdaya.
Maaf karena kamu pernah sebodoh itu saat jatuh cinta.
Ingin sekali rasanya aku menjerit keras-keras di atas tebing lalu mendorong diriku ke laut saat menuliskan bagian ini.
Aku begitu berdosa pada diriku sendiri,
Aku begitu menyedihkan dan berdosa pada diriku sendiri.
Maaf karena sudah berbohong pada diriku sendiri dan selalu mengatakan semuanya baik-baik saja selama ini.
Maaf karena sudah selalu mau dibodohi dan dipaksa menelan rasa sakit yang nggak kunjung habis itu seorang diri.
Maaf karena sudah banyak menangis.
Maaf karena sudah jadi versi dirimu yang paling lemah dan nggak berdaya.
Maaf karena kamu pernah sebodoh itu saat jatuh cinta.
---
Andai aku punya keberanian untuk mengatakannya padamu waktu dulu.
"Kamu itu seperti
heroin, Mar."
Bagiku,
kamu dan perasaanku sudah terlalu adiktif seperti heroin.
Menurutku,
kamu dan perasaanku sudah terlalu berbahaya seperti heroin.
Memang betul jika terus kuperlakukan sesuai mauku, perasaan menyenangkan ini akan selalu jadi
mimpi indahku yang paling nyata.
Tapi kamu tahu heroin, kan, Mar?
Zat adiktif yang mampu
memberikan rasa senang dan ketenangan, namun jika masuk ke dalam tubuh jangka
panjangnya adalah menimbulkan kerusakan otak, penurunan sistem imun tubuh, insomnia, dan
kerusakan ginjal serta hati secara permanen kalau Tuan Internet bilang.
Dan
aku nggak rela kalau hatiku harus rusak hanya karena heroinku.
Jadi, pada hari itu aku nggak terlalu banyak bicara. Sudah nggak aneh lagi karena biasanya pun aku memang jarang bicara di depanmu. Tapi kemudian pada akhirnya kusampaikan juga padamu, pengakuanku yang paling tulus dan nggak berskenario itu.
Di hari itu, pada pukul lima sore lebih dua puluh delapan menit. Di tanggal tiga bulan enam tahun dua ribu sembilan belas. Kukatakan kepadamu.
“Thanks
to you, too, Mar.
Thanks to you too 'cause you’ve been the reason.”
---
[ P u l a n g ]
Satu bulan terasa seperti setahun sampai tiba saatnya jarak ini sudah harus kupotong dengan senyuman paling indah sedunia.
Hari itu tanggal sepuluh bulan enam, terima kasih untuk Jember dan ombak-ombak
di pantai yang sudah menyambutku dengan sedemikian luka. Singgahku di kota ini
membawa banyak sekali pelajaran untuk dibawa pulang, nggak tahu jika pertemuanku dengan kota ini di tahun dua ribu sembilan belas itu ternyata adalah pertemuan yang terakhir sebab untuk tahun ini situasinya nggak memungkinkan untuk bisa berjumpa lagi.
Juni, akhirnya aku harus kembali.
Terima kasih, ya?
Luka kita berarti.
Akhirnya, aku akan bertolak dan segera mencari sebagian diriku yang hilang di kota kembang. Akhirnya, aku akan mengakhiri semua urusanku denganmu di sini dan segera memecahkan celengan rinduku sebentar lagi.
Kumohon sabar sebentar lagi.
Kumohon tunggu aku sebentar lagi.
Juni, akhirnya aku harus kembali.
Terima kasih, ya?
Luka kita berarti.
Akhirnya, aku akan bertolak dan segera mencari sebagian diriku yang hilang di kota kembang. Akhirnya, aku akan mengakhiri semua urusanku denganmu di sini dan segera memecahkan celengan rinduku sebentar lagi.
Kumohon sabar sebentar lagi.
Kumohon tunggu aku sebentar lagi.
---
Saat
itu, Stasiun Gubeng sedang ramai-ramainya. Suasana riuh dan berisik karena banyak pendatang yang keluar masuk. Padahal sudah pukul tujuh malam, tapi ketika itu udaranya justru malah terasa semakin gerah. Aku juga nggak tahu kenapa.
Mungkinkah karena gejolak di dadaku sudah meletup-letup—nggak sabar mau bertemu denganmu esok hari?
Aku
naik kereta api malam Mutiara Selatan, bergelut dengan netbook dan lembaran cerita novelku yang nggak kunjung selesai dibuat hingga detik ini selama perjalanan pulang.
Lalu, aku sampai di Stasiun Bandung pukul setengah
delapan pagi keesokan harinya.
Begitu kereta berhenti, rasanya aku mau sekali langsung melompat ke peron dan lari mengabarimu. Rasanya, aku mau langsung naik taksi sampai ke rumahmu lalu memecahkan celengan rinduku sampai sepecah-pecahnya bersamamu detik itu juga.
Tapi nyatanya aku nggak sehilang akal itu, Mar.
Aku terlalu pemalu dan sangat naif di hadapanmu.
Aku bukan tokoh cerita di serial novel fiktif remaja yang begitu digilai para pembaca.
Aku terlalu pemalu dan sangat naif di hadapanmu.
Aku bukan tokoh cerita di serial novel fiktif remaja yang begitu digilai para pembaca.
Begitu pun kamu.
Begitu pun dengan kamu yang begitu realistis dalam memandang pola kerja kehidupan. Aku nggak tahu apakah rasa yang begitu menggebu ini ada di dalam dirimu juga? Atau sejak awal memang nggak pernah ada sama sekali?
Aku nggak pernah tahu, karena pada dasarnya kamu memang susah untuk dicari tahu.
Aku nggak pernah tahu, karena pada dasarnya kamu memang susah untuk dicari tahu.
Namun,
satu pertanyaan yang terlontar dari mulutmu di hari itu tiba-tiba menghilangkan
semua rasa penat yang membaluriku sepanjang hari, Mar. Satu pertanyaan yang paling ingin kudengar selama ragaku nggak di sini. Satu pertanyaan yang nggak pernah sekalipun kutolak sekalipun ada banyak hal yang sebetulnya jauh lebih penting. Satu pertanyaan kesukaanku sejak pertama kali kita berkenalan di bulan Maret hingga menit terakhir saat kamu memutuskan untuk nggak mau menghubungiku lagi pada bulan setelah ini.
“Mau
pergi bareng ke rumah kedua kita besok pagi, nggak?”
---
[ A s i n g ]
Hari itu tanggal 12 bulan 6, aku mengingatnya sebagai hari pertemuan kembali yang paling aneh dan ganjil menurut logika yang kupunya.
Aneh karena.. seharusnya sih, nggak begitu waktu itu.
Sudah capek-capek aku menantikannya selama sekian minggu tapi ternyata setelah harinya tiba, semuanya malah nggak sesuai sama ekspektasiku.
Apa mungkin cuma aku yang terlalu berharap macam-macam?
Iya, sih.. Kayaknya itu memang sudah penyakit kronisku dari dulu. Aku sudah tahu sekarang, jadi sebisa mungkin nggak perlu kuulangi lagi.
Dulu, aku terlalu menuhankan ekspektasi dan terlalu mudah bergantung pada harapan yang semu.
Dulu, aku hanya nggak mengerti apapun tentang rumitnya perasaan.
Di hari yang cerah itu, pada akhirnya kita ditakdirkan untuk bisa bersama lagi.
Hanya bersama, bukan bersatu.
Semesta masih sangat baik mau mempertemukan kita di bulan Juni walaupun kita sudah tahu bahwa salah satu di antara kita berdua sudah nggak lagi sanggup untuk mendayung melawan arus yang sama.
Rasanya aneh sekali karena kita masih saling bertemu seperti itu padahal beberapa hari yang lalu kamu sudah seperti memutuskan untuk mengurusi hidupmu sendiri saja dan mengurungkan niat untuk membawaku masuk ke dalam ceritamu.
Tapi, apa kamu nggak merasa ada yang aneh, Mar?
Perihal luka yang kamu toreh,
Perihal hancur yang kamu cipta.
Rasanya aneh sekali karena kita masih saling bertemu seperti itu padahal beberapa hari yang lalu kamu sudah seperti memutuskan untuk mengurusi hidupmu sendiri saja dan mengurungkan niat untuk membawaku masuk ke dalam ceritamu.
Tapi, apa kamu nggak merasa ada yang aneh, Mar?
Perihal luka yang kamu toreh,
Perihal hancur yang kamu cipta.
Apa kamu nggak merasa jika semuanya masih terlalu mendadak dan abu-abu buatku? Aku terus bertanya seperti itu di dalam otak hanya karena aku menolak untuk percaya jika sebenarnya kamu sudah nggak sepeduli itu lagi denganku.
Kurasa kamu perlu tahu.
Kurasa kamu perlu tahu.
Kamu perlu tahu bahwa diam seribu bahasamu itu mencelakakan, Mar!
Mencelakakan aku. Mencelakakan satu-satunya harapan dan kepercayaanku padamu itu sedikit demi sedikit sampai mati.
Dan tanpa kamu sadari, suatu hari nanti itu hanya akan mencelakakan dirimu sendiri juga.
Dan tanpa kamu sadari, suatu hari nanti itu hanya akan mencelakakan dirimu sendiri juga.
---
Jumpa
kangen waktu itu terasa aneh karena mungkin kita pergi berbaur dengan terlalu banyak orang dan suasananya pun jadi nggak menentu. Temu rindu di hari itu terasa canggung
karena mungkin sebenarnya kita nggak sedekat itu, Mar.
Nggak ada obrolan. Nggak ada sapaan. Nggak ada yang namanya memecahkan celengan kerinduan yang mengharukan sebagaimana yang sudah kubayangkan sejak hari pertama kita terpaut oleh jarak.
Apa itu yang disebut temu rindu??
Apa itu yang disebut temu rindu??
Ya, nyatanya kita memang belum sedekat itu dan nggak akan pernah jadi sedekat itu sampai kapan pun.
"Kita masih asing, Mar.
Dan kemungkinan hanya akan terus jadi dua manusia asing yang kebetulan pernah ditakdirkan untuk saling singgah di muka bumi."
Mar, kamu tahu?
Setelah
satu tahun nggak sengaja kupikirkan lagi, memang pada dasarnya aku nggak menemukan kedekatan atau kesamaan apapun di antara kita selama ini.
Bukankah
kita memang jarang mengobrol jika topiknya bukan tentang persiapan ujian masuk kuliah atau latihan-latihan soal try out saja?
Selama ini kita hanya membicarakan topik-topik kesukaanmu terus menerus tanpa sekalipun memberikan ruang padaku agar aku bisa membahas topik kegemaranku juga.
Bukankah
kita sama sekali belum pernah merencanakan untuk pergi ke tempat-tempat bagus atau
melakukan hal lain bersama-sama seperti orang yang sungguh-sungguh dalam merasa?
Kita bahkan nggak pernah punya yang namanya visi dan misi.
Lalu, bukankah
kamu belum pernah benar-benar ingin mengenali duniaku dan begitupun juga aku?
Kamu nggak pernah bertanya soal seperti apa duniaku atau bagaimana aku berperan dalam lingkungan kehidupan yang kupunya. Dan rasa rasanya, kamu juga nggak pernah sekali pun berinisiatif menggiringku untuk jadi lebih dekat dengan duniamu karena memang maumu mungkin begitu.
Jadi,
bukankah kita sebenarnya belum sedekat itu, Mar?
---
Hari
itu, sungguh aku sangat senang bisa melihatmu lagi dengan kaus merah dan skinny jeans favoritmu yang hampir selalu kamu kenakan. Tapi di sisi lain, aku juga amat kecewa
karena rupanya kita masih tetap sama seperti dulu. Kita masih saja nggak bisa banyak bercakap satu sama lain, nggak bisa berkomunikasi dengan baik sebagai teman apalagi sebagai sedikit lebih dari teman. Basa basi ngomongin cuaca saja sudah nggak bisa, bagaimana mau lanjut mengkomunikasikan perasaan rumit ini satu sama lain?
Hari itu, kita masih sangat berjarak walau pada kenyataannya kita duduk hampir berhadapan nggak sampai tiga meter di satu kayu meja yang sama.
Lucu sekali, ya, kalau dipikir-pikir.
Aku masih nggak habis pikir sampai sekarang.
Aku masih nggak mengerti tentang apakah itu memang cara aneh dan menjengkelkanku dalam mencurahkan rasa rindu yang terpendam selama ini: menjadi seorang
pengecut yang selalu berpura-pura nggak memedulikan keberadaanmu dan nggak bisa mengatakan sepatah kata
pun di depanmu ketika yang sebenarnya sudah kusiapkan seharusnya ada seribu
rangkai.
Lalu apa mungkin kamu juga satu tipe denganku, Mar? Sama sama pengecut.
Aku nggak tahu..
Aku nggak pernah punya keberanian untuk menanyakan apa-apa padamu, jadi aku nggak pernah tahu jawabannya sampai sekarang.
Rasanya kesal saat harus melihatmu tertawa dan asyik mengobrol dengan orang-orang ketika aku nggak pernah bisa jadi seakrab itu denganmu. Rasanya berat dan mengganjal di hati ketika aku pun nggak tahu mengapa aku nggak bisa jadi diriku sendiri--diriku yang penuh cerita dan ceria itu--setiap kali sedang bersamamu? Aku bingung kemana sifat-sifat menyenangkanku itu bersembunyi setiap kali kamu menampakkan dirimu di sekitar.
Yang tersisa hanya kerangka es yang beku. Yang tersisa cuma diriku yang palsu.
Yang tersisa hanya kerangka es yang beku. Yang tersisa cuma diriku yang palsu.
Hari itu aku senang bisa melihatmu lagi, tapi jujur saja aku juga marah dan kecewa.
Aku kecewa karena tampangmu sama sekali nggak menyiratkan dosa apa-apa setelah banyak pertikaian panjang yang kita lakukan beberapa waktu sebelumnya.
Aku kecewa sekali karena kukira hari itu aku akan mendapat banyak kejelasan tentang semua keabu-abuan kita langsung dari mulutmu tanpa edit. Tapi nyatanya kamu cuma diam seperti patung selamat datang dan nggak bicara sepatah kata pun tentang teori 'adaptasi' yang baru-baru ini kamu paksa aku untuk menganutnya. Kamu hanya diam dan tetap datar seperti biasa seolah-olah nggak pernah terjadi perubahan apapun pada cerita kita. Kamu bahkan sama sekali nggak berbasa-basi sedikit pun seperti menanyakan soal bagaimana keadaan mata kiriku yang tertusuk itu atau apa, Mar.
Semua ekspektasi ini membunuhku.
Seharusnya waktu itu aku langsung melabrakmu atau menampar wajahmu sekalian. Aku ingin sekali melakukannya sejak kamu memutuskan untuk mengubah sikapmu seenak jidat tanpa meminta saranku terlebih dulu di tanggal 3 itu. Karena bagiku, kamu bertindak seperti itu sama saja seperti kamu nggak menghargaiku, Mar.
Aku benar-benar ingin melakukannya tapi aku nggak bisa.
Ya, bagaimana aku bisa??
Ya, bagaimana aku bisa??
Mar, andaikan kamu mengerti perasaanku. Pertemuan yang asing ini sunggguh menyiksa.
Pada kenyataannya, baik berpisah ataupun bertatap wajah, keduanya sama-sama membunuh.
Karena pada akhirnya aku tahu, bahwa rinduku nggak akan pernah sembuh.
---
Sore
harinya, kita kembali berpisah dan melambaikan tangan di pertigaan jalan yang biasa. Masih menjadi keganjalan di
benakku sampai detik ini, Apa kamu memang se-nggak-ingin itu, ya, untuk mengantarkanku
sampai rumah? Karena aku nggak tinggal di trotoar itu, Mar. Meskipun terlihat semenyedihkan ini, tapi aku bukan gelandangan. Aku juga punya rumah tinggal yang layak sama sepertimu, aku juga punya rumah jadi kenapa nggak turunkan saja aku di sana?
Dan kurasa jawabannya mungkin ada pada etika, ya.
Begitu kamu bersama motormu berbelok dan segera berlalu meninggalkanku tanpa sepatah kata, saat itu juga aku mulai berpikir tentang kita.
Aku merenung pada setiap langkah kakiku menuju rumah.
Aku mencoba mengingat-ingat hal menyenangkan apa saja yang sudah kulakukan seharian ini bersamamu tapi sayangnya nggak bisa kutemukan apapun di sana.
Hari
itu seharusnya jadi hari spesial menurut logika dan perasaanku, secara hari itu adalah
pertemuan pertama kita setelah sekian lama terkekang jarak dan terkungkung
waktu.
Tapi lagi lagi, pada kenyataannya sama saja, kan? Setelah hari itu, aku jadi sadar.
Bahwa ternyata nggak ada yang
namanya hari spesial di dunia ini.
“Bahwa semua
hari itu bisa jadi hari spesial, atau malah jadi hari yang buruk selamanya.
Tergantung kitanya.”
Dan,
ya.
Kupikir
kita adalah dua orang paling menyedihkan yang kebetulan ditakdirkan untuk bertemu lagi di bulan Juni. Jadi sebesar apapun harapan yang kita buat, nggak akan pernah bisa kita temukan di mana
hari yang spesial itu bersembunyi.
---
[ A l a d d i n ]
Entah bagaimana semesta
meraciknya, Juni selalu membuatku terkejut dengan bermacam-macam perihal yang
dia suguhkan kala itu.
Pada tanggal 12 Juni pukul
setengah delapan malam, waktu itu aku sedang menggambar sebuah mandala besar dengan
garis-garis rumit yang berliku di atas kertas sketch yang masih kusimpan sampai
sekarang--mencurahkan semua perasaanku yang berkelumit di dalamnya.
Perasaan bingung, amarah
yang berkecamuk, dan kekesalanku karena watakmu yang selalu nggak pernah
'jelas' hingga seharian ini.
Sebenarnya, kamu nggak salah, Mar. Hanya akulah yang
terlalu sensitif akan berbagai hal yang berkaitan denganmu. Entah itu hal baik
atau hal buruk, akulah yang terlalu nggak pengertian waktu itu.
Lalu apa kamu masih ingat apa yang terjadi keesokan paginya di tanggal 13 Juni?
Esok paginya, kamu mengirimiku satu pesan baru yang membuatku jadi semakin bingung dengan diriku sendiri.
Nggak sopan sekali karena kamu sama sekali nggak menyertakan sapaan selamat
pagi atau minimal menanyakan kabarku di alinea pembukanya.
Pesan itu berupa sebuah
foto formasi kotak-kotak dengan alfabet dan angka di masing-masing kotaknya. Benar. Saat itu kamu pernah mengirimiku hal menyenangkan semacam itu, Mar. Di luar ekspektasiku.
Formasi tempat duduk bioskop untuk e-ticket.
"Mau duduk di
mana?" tanyamu.
"Ada apa
tiba-tiba?"
"Membayar yang
kemarin nggak sempat dilakukan."
"Apa?"
"Aladdin."
"Apa?"
"Aladdin."
Jujur saja aku terkejut karena aku nggak pernah membayangkan ini sebelumnya. Seorang Mar baru saja mengajakku nonton film dongeng musikal tentang seorang putri yang jatuh cinta pada pencuri saat seharusnya dia punya jadwal keluar sama teman-temannya di hari itu.
Aku hampir menangis karena perlakuanmu begitu nggak bisa ditebak, Mar..
Aku hampir menangis karena aku kira
sudah nggak ada lagi kesempatan yang tersisa untuk mencoba hal-hal baru seperti ini denganmu. Kukira kamu dan aku akan tenggelam saja di bulan Juni sembari menghapus semua jejak kaki kita di pesisir tanpa pernah berpikir untuk berlayar bersama lebih jauh lagi.
"Kemarin katamu hari ini
mau pergi sama teman-temanmu? Nggak jadi?"
"Nggak jadi. Mau
duduk di mana? Cepat."
Aku tertegun sejenak,
berpikir.
Apa mungkin itu memang
hobimu, ya, Mar?
Membatalkan agenda
secara mendadak, membuat rencana secara tiba-tiba. Mengatur dan berkehendak
sesuai keinginanmu sendiri seakan cuma kamu yang pegang kendali dan orang lain
hanyalah objek pasif yang bisa kamu kendalikan.
Sekarang aku sadar betul kalau hubungan kita sama sekali nggak sehat karena selalu kamu yang lebih diuntungkan dalam setiap situasi. Apapun usulmu kuiyakan, tapi saat giliranku yang butuh kamu selalu bilang nggak bisa.
Entah kamu yang pintar memanfaatkan atau aku yang terlalu bodoh ketika itu.
Andai saja aku nggak sedang dibutakan oleh rasa, mungkin nggak akan langsung kuterima mentah-mentah tawaran manismu itu tanpa berpikir panjang.
Andai saja aku nggak sedang dibutakan oleh rasa, mungkin nggak akan langsung kuterima mentah-mentah tawaran manismu itu tanpa berpikir panjang.
"Di tengah
saja." jawabku.
"Tapi aku lebih suka di pinggir." sanggahmu.
"Ya, sudah. Kalau begitu di pinggir.."
Lihat?
Pada akhirnya, selalu aku yang mengalah dan menuruti apa maumu.
Aku juga heran kenapa saat itu harus selalu aku yang lebih banyak mengorbankan rasa dan mengabaikan egoku sendiri.
Selama perjalanan singkat menuju tempat pemutaran layar, aku terus memikirkan sikapmu yang berubah-ubah seperti musim. Angin apa kiranya yang membawamu kemari pada siang hari itu?
Aku
cuma nggak yakin apakah kamu benar-benar tertarik untuk nonton film itu sampai memintaku untuk menemani. Walaupun orang-orang bersikukuh
mengatakan kalau film nya lebih dari bagus, itu nggak berarti semua orang bakal menyukainya, kan? Itu nggak berarti kamu juga harus memaksakan diri untuk suka, kan, Mar?
Aku
bertanya-tanya dalam pikiranku sendiri apakah seorang Mar mungkin tertarik pada
cerita dongeng Disney princess yang begitu romantis dan penuh dengan keajaiban
musikal seperti itu. Kelihatannya sih nggak. Kalau lihat dari ekspresi wajahmu (yang
tentunya datar-datar saja dan selalu sedatar itu sampai entah kapan), sudah
jelas jelas nggak cocok sama sekali.
Aku
tahu, aku tahu.
Aku tahu persis kalau sebenarnya kamu cuma peduli dengan Game of Thrones-mu itu.
Kamu cuma terus bicara
soal serial itu setiap hari, setiap waktu, setiap ada kesempatan untuk bicara
denganku berulang kali tanpa bosan. Kalau bukan GOT, ya palingan Avangers. Kamu bahkan sampai pernah titip absen cuma gara-gara mau nonton End Game sama
temanmu. Nggak bilang, nggak ngajak, tahu-tahu sudah hilang saja. Menyebalkan.
Ya, gapapa juga sih, sebenarnya. Aku marah marah sekarang pun sudah nggak ada gunanya. Lagian pada dasarnya kesukaan kita memang
nggak ada yang sama, kan? Jadi mungkin intuisiku selama ini benar.
Itu memang duniamu, Mar.
Sebuah dunia yang nggak pernah bisa kutemukan celah sedikit pun untuk aku masuk ke dalamnya.
Dan mungkin April benar.
Ternyata memang semustahil ini ya, menyatukan langit dan bumi?
---
Tanggal
13 Juni setahun yang lalu akan selalu kukenang sebagai setengah hari paling berkesan
bersama Mar di dalam memori.
Kurasa
hanya aku yang begitu menghargai momen ini sendirian.
Kurasa hanya aku yang
begitu peduli pada hal-hal kecil yang Mar selalu sepelekan. Padahal sudah lebih dari satu tahun berlalu, tapi aku masih benar-benar ingat semua detilnya tanpa cacat.
Aku ingat saat Mar dulu pernah menawariku sebuah minuman tapi aku menolaknya karena kukatakan dengan polos dan jujur kalau harganya mahal. Padahal, bisa saja itu memang cara dia untuk memperlakukan hari itu dengan istimewa. Aku begitu percaya diri dan mengira masih ada lain kali, nggak tahu kalau ternyata penawaran spesial Mar di hari itu adalah yang pertama sekaligus yang terakhir kali.
Aku begitu ingat semua detilnya, hoodie abu-abu yang dia kenakan waktu itu, gaya rambutnya yang baru dicukur waktu itu, cara bicaranya saat bersikeras membawaku ke eskalator saat sebenarnya aku yang lebih tahu di mana letak eskalatornya.
Mungkin baginya
hal hal sederhana seperti menonton film, makan es krim, dan berjalan-jalan berkeliling bersama
orang sepertiku adalah ingatan paling biasa yang sangat mudah untuk dibuang
kapan saja. Mungkin aku memang sama sekali nggak ada istimewanya di matanya, kan? Mungkin juga sejak awal baginya aku memang bukan siapa-siapa, jadi semua yang dia lakukan padaku di hari itu juga baginya bukan apa-apa.
Tapi nggak denganku.
Bagiku semua momen itu berharga.
Bagiku semua waktu punya maknanya.
Bagiku setiap memori itu ada sejarahnya.
Nggak peduli dengan siapa, ke tempat apa, kapan, dan bagaimana kejadiannya, yang pasti di dalam ingatanku semua itu punya ceritanya sendiri.
Dan aku begitu mencintai semua rangkaian cerita yang pernah tercatat dalam sejarah kehidupanku, Mar. Sekalipun itu perih. Sekalipun itu membuatku menangis tanpa letih.
Sepanjang perjalanan cerita ini, dari mulai Tentang Maret hingga Perihal Juni, kurasa hari itu memang sudah ditakdirkan semesta sebagai klimaks menyenangkan dari cerita kita.
Aladdin dan Jasmine berhasil membawa Mar dan aku singgah ke tempat-tempat menakjubkan dengan karpet terbang mereka, melihat banyak lentera cantik dan berkelana melewati bukit.
Aladdin dan Jasmine sukses menggiring Mar dan aku menembus portal imajiner ke dimensi kebahagiaan yang lebih fana, membuat kami lupa bahwasanya Juni sudah nggak lagi berpihak selayaknya Mei.
Pada hari itu, aku menemukan
banyak sisi Mar yang baru dan menyenangkan, yang mungkin dia pun menyesal sudah
menunjukkan sisi-sisi baiknya itu padaku. Entahlah. Pasalnya, apa yang dia lakukan di hari itu berkebalikan 180 derajat dengan apa yang dia ucapkan di awal Juni. Yang kutahu, sejak hari itu, Mar hanya jadi semakin membingungkan dan semakin membingungkan lagi. Aku nggak tahu apa yang benar-benar dirasakannya.. Apa dia begitu mengharapkanku atau justru inginnya adalah segera mengusir kehadiranku?
Benar. Kukira hari itu memanglah puncaknya. Puncak di mana aku benar-benar merasakan ini sebagai sesuatu yang seharusnya kurasakan sejak lama--membuatku terlena dan lupa sejenak pada teori adaptasi.
Dan karena hari itu adalah puncak, maka kamu tahu apa artinya?
Artinya, hari-hari setelahnya hanyalah sebuah penurunan yang akan bergerak perlahan tapi pasti. Persis seperti gambar kurva normal dalam pelajaran eksak. Setelah berada di titik puncak, garisnya akan menurun. Kian menurun, semakin turun,
turun terus, dan turun lagi hingga pada akhirnya landai dan hilang dengan sendirinya.
Persis
seperti kurva, perjalanan cerita ini.
Dan rupanya Na benar saat mengatakannya di bulan Mei.
"Ini.. adalah siklus laknat."
---
[ H a r i P e r p i s a h a n ]
Hari itu hari Rabu, kamu pergi menginap di villa bersama teman-teman sekelasmu sementara aku sibuk menyiapkan porto untuk seleksi masuk kuliah. Hari itu dingin, katamu. Kamu bahkan nggak bisa menyentuh air saat teman-temanmu justru sedang saling banjur di halaman.
Mungkin kamu sudah nggak ingat tapi sore
hari itu kamu tiba-tiba menghubungiku, Mar. Tanpa diminta, mengirimkan suaramu
yang begitu ingin kudengar dari lama. Kita berbincang-bincang sebentar barang sebelas menit di
telepon tapi entah kenapa waktu itu rasanya hanya kamu yang berbicara sendirian, menasehati aku ini itu agar
memilih kampus yang bagus saat pendaftaran nanti.
Setelah kupikir-pikir lagi, kita nggak pernah benar-benar berbincang tentang hal lain, ya?
Sepertinya memang benar
adanya bahwa keperluanmu denganku pada saat itu hanya sebatas teman diskusi latihan soal
dan diskusi persiapan masuk ke perguruan tinggi.. Nggak lebih dari itu.
Maaf,
ya, Mar?
Maaf karena aku baru menyadari hal ini setelah sekian lama.
Maaf
karena seharusnya waktu itu aku nggak memandangmu berbeda dan lalu menaruh harapan
yang nggak lazim itu di pundakmu.
Maaf
aku sudah begitu bergantung dan mengganggu seperti hama sampai membuatmu kesal.
Aku
kira kita dekat,
Aku
kira kita sama,
Nyatanya
aku salah besar.
Aku
nggak tahu jika hari itu ternyata adalah pembicaraan terakhir kita di telepon. Karena setelah hari itu, aku nggak pernah lagi mencoba untuk menghubungimu, begitu pun kamu yang
nggak lagi punya keinginan untuk menghubungiku sama sekali sampai detik ini
kutulis sekuel kelima dari cerita kita.
Satu
tahun sudah berlalu dan selama itu juga kita hanya berusaha saling melupakan meskipun sudah pernah kukatakan bahwa nyatanya manusia nggak mungkin benar-benar bisa lupa.
Dan kamu tahu bagian paling menyebalkannya?
Bagian menyebalkannya adalah aku mulai terbiasa dengan Mar yang hobi ilang-ilangan lalu kadang kala mampir lagi dan mengabariku sewaktu-waktu.
Bagian menyebalkannya adalah aku mulai terbiasa dengan Mar yang hobi ilang-ilangan lalu kadang kala mampir lagi dan mengabariku sewaktu-waktu.
Padahal kalau kupikir-pikir sekarang, untuk apa juga mempertahankan baut yang memang sudah mau lepas?
Aku masih tetap saja bodoh
dan begitu yakin padamu sampai suatu waktu, hari yang mengerikan itu akhirnya datang dengan sendirinya.
Hari
kelulusanmu.
Hari di mana kamu tampil rapi dengan jas hitam dan kemeja putih.
Hari di mana rasanya kamu sudah membuang dan menginjak-injak semua harapanku sembarangan seperti bekas puntung rokok yang sudah tergeleng dan terburai di jalanan.
Hari di mana rasanya kamu sudah membuang dan menginjak-injak semua harapanku sembarangan seperti bekas puntung rokok yang sudah tergeleng dan terburai di jalanan.
---
Hari
itu,
Sungguh hari itu sebenarnya bukan hanya hari perpisahanmu seorang.
Hari itu.. juga hari perpisahanku.
Sungguh hari itu sebenarnya bukan hanya hari perpisahanmu seorang.
Hari itu.. juga hari perpisahanku.
Kamu
berpisah dengan teman-teman sekolahmu itu ketika aku berpisah dengan sosok Mar
yang damai dan mengisi hari-hariku.
Kamu
berpisah dengan anak-anak tongkronganmu itu ketika aku berpisah dengan wujud Mar
yang selalu merindukan dan penuh kehangatan.
Kamu
berpisah dengan perempuan yang terlihat sangat cocok menggandeng tanganmu itu
ketika aku berpisah dengan harapan dan kesabaran yang kian membuatku terperosok ke dalam lubang keputusasaan.
Kamu
berpisah dengan semua kebahagiaanmu di SMA, ketika aku harus berpisah dengan
semua kebahagiaan yang kukira selama ini ada padamu seorang.
Hari
itu tanggal dua puluh empat bulan enam, Mar.
Hari
di mana kamu mendadak jadi begitu sibuk dengan duniamu sendiri sampai sudah
nggak bisa lagi meluangkan waktu untuk berkomunikasi denganku hingga
berhari-hari setelahnya.
Hari
itu tanggal dua puluh empat bulan enam, Mar.
Hari
ketika keegoisanku sudah sedemikian meradang sedangkan kamu malah semakin nggak
jelas dan justru jadi semakin hilang.
Hari
itu tanggal dua puluh empat bulan enam dan aku sama sekali nggak mengerti, Mar.
Aku
nggak mengerti kenapa kamu nggak berterus terang saja padaku?
Kenapa
kamu nggak bilang saja kalau memang kamu membenciku?
Kenapa
nggak bilang saja kalau aku adalah hama dan kamu ingin aku enyah untuk
selamanya?
Kenapa
nggak mengusirku atau kenapa nggak pamit dulu padaku jika yang kamu inginkan
itu adalah pergi, Mar??
Aku
heran padamu kenapa nggak kamu pakai alat komunikasi itu dengan baik sesuai
fungsinya.
Aku
benci padamu sejak tanggal dua puluh empat Juni karena kamu masih saja nggak
bisa mengkomunikasikan apa yang kamu rasakan dan itu membuatku benar-benar mau gila!
Kamu begitu karena mungkin nggak tahu rasanya.
Kamu nggak tahu bagaimana
rasanya terjebak dalam keambiguan hitam dan putih.
Kamu begitu karena mungkin nggak pernah tahu rasanya.
Kamu nggak tahu bagaimana
rasanya marah dan bingung karena digantung sampai mau mati.
Hari
itu,
Sejak
hari itu,
Kamu
memang bukanlah Mar yang kusukai itu lagi.
Kamu
memang bukan Mar yang menyukaiku lagi.
Lalu
kemana perginya Mar yang itu?
Rahasia
semesta. Kita pun sama sama nggak tahu kemana perginya.
Mungkin
terjerembab di awan-awan..
Mungkin
singgah di kedipan sang purnama dan lupa untuk kembali.
Rahasia
semesta. Kita nggak ada yang tahu.
Bukan
manusia namanya jika nggak pernah salah dan menyalahkan.
Mar
salah besar dalam ceritaku. Kehadirannya seperti sebuah kesalahan fatal yang
terlanjur tertulis tanpa bisa di ctrl+z lagi. Tapi itu nggak sepenuhnya salah
dia. Itu salahku juga karena memang belum bisa dewasa saat menghadapi situasi
serumit itu. Sudah kubilang, kan, kadang-kadang aku adalah manusia paling labil
sejagat raya.
Perihal
Juni jadi penuh luka dan air mata mungkin karena aku sendiri yang membuatnya
jadi seperti itu.
Aku
lupa. Aku lupa bahwa dalam dunianya nggak hanya tentang aku seorang.
Aku
egois. Aku egois karena selalu ingin jadi prioritas utama pada setiap situasi padahal
dia juga punya teman dan keluarga yang sudah selalu ada sejak lama.
Juni sangat menyakitkan.
Juni benar-benar menyulitkan.
Semesta, aku
benci bulan Juni.
Aku
sangat benci pada Juni sampai kemudian Juli datang dengan tank dan rudal, memporak porandakan
semuanya sampai jadi debu.
Sampai
cerita ini kehilangan nyawanya.
Sampai Mar dan aku saling membunuh pada akhirnya.
Di bulan Juli.[]
-----------------------------------------------
-----------------------------------------------
Semoga di bulan bulan lain ada cerita yang lebih indah dan tidak menyakitkan
ReplyDeleteaamiin :)
Deletemantul nih dijadiin novel
ReplyDeletethx for ur support! Nanti kalo udh rilis beli novelnya, ya!
DeleteAs always keren ceritanyaa
ReplyDeleteterima kasih banyak! Hehe
DeleteSemua hal yang sudah berlalu biarlah berlalu, tidak usah dilupakan cukup disimpan sebagai pemberlajaran. Setelah bulan-bulan lalu dilalui dengan rasa sakit Mudah-mudahan bulan yang akan datang memberi secercah harapan untuk kebahagiaan...
ReplyDeleteaamiin :)
DeleteKeren huhuhu, bulan selanjutnya semoga baik dan indah ya♡
ReplyDeletehihi, aamiin! Berdoa aja dulu
DeleteJika Mar menyesal dan ingin kembali, apakah masih ada ruang?
ReplyDeleteMenurutmu?
Deletekenapa sih mar, maunya apa:(
ReplyDeleteTanya dong sama orangnya, aku juga mana tau isi hatinya
DeleteSay, 'untukmu' ada di kotak masuk surelmu
ReplyDelete<3
Delete