Akhir-akhir
ini, rasanya di seluruh bumi cuma ada aku yang bingung sendirian. Dilema
sendirian. Pusing dan kesal sendirian.
Ya, Tuhan, kenapa? Aku selalu
bertanya-tanya.
Setiap hari bertanya-tanya tanpa bosan. Pada Ibu, pada Ayah,
pada adik-adik, pada teman, dan pada Tuhan. Sekali lagi, kenapa? Kenapa rasanya
orang lain kok nggak begitu? Kenapa rasanya teman-temanku semua satu kubu dan kenapa cuma aku sendiri saja yang nggak sama?
Aku.
Aku sebenarnya lebih lara dari yang terlihat, lebih leleh dan kosong dari sekadar kaleng minuman dan lilin bekas mati lampu yang sudah nggak berbentuk. Karena bagiku bepergian adalah nadi! Melangkah keluar rumah dan bertemu dengan orang banyak adalah jantung yang berdenyut. Kupikir aku bisa bertahan hidup dengan nggak harus pergi main. Kupikir awalnya aku bisa. Kupikir memang sudah seharusnya aku bisa. Tapi rasanya, kok semakin hari aku jadi semakin nggak bisa?
Aku sebenarnya lebih lara dari yang terlihat, lebih leleh dan kosong dari sekadar kaleng minuman dan lilin bekas mati lampu yang sudah nggak berbentuk. Karena bagiku bepergian adalah nadi! Melangkah keluar rumah dan bertemu dengan orang banyak adalah jantung yang berdenyut. Kupikir aku bisa bertahan hidup dengan nggak harus pergi main. Kupikir awalnya aku bisa. Kupikir memang sudah seharusnya aku bisa. Tapi rasanya, kok semakin hari aku jadi semakin nggak bisa?
Bulan
Maret aku bilang, “Sabar, April kita pergi main.”
Bulan
April aku bilang, “Sabar, Mei pasti kita pergi main.”
Bulan
Mei aku bilang, “Sabar, Juni seharusnya kita bisa main, kan.”
Bulan
Juni aku bilang, “Sabar, mungkin saja Juli sudah boleh pergi main..?”
Lalu
Juli? Hari ini sudah Juli. Sudah tanggal 6 pula!
Mungkinkah
sudah boleh pergi main? Mungkinkah sudah seperti bagaimana kataku di bulan
Juni?
Sayangnya keputusan untuk perkara main saja sekarang sudah nggak bisa
main main lagi.
Nggak seperti saat saat dulu ketika ada yang ngajak main, pertimbanganku
hanyalah tentang apakah waktunya cocok atau nggak, apakah uang jajanku sudah
turun atau belum, atau sesimpel apakah aku sedang mood untuk main atau nggak.
Sayang, hari ini sudah nggak semudah yang kemarin kemarin.
Terhitung mulai tanggal 15
Maret, pertimbanganku jadi tambah banyak. Banyak sekali. Saking banyaknya, aku
bahkan sampai nggak tahu lagi apakah aku memang harus mempertimbangkan semua
ini atau nggak.
Soalnya ini sudah perkara hidup dan mati, sih.
Soalnya ini sudah perkara hidup dan mati, sih.
Aku
bahkan nggak tahu apakah ini cuma aku, apakah ini cuma Ibu dan Ayahku, atau
apakah ini cuma keluarga kecilku yang teramat sangat peduli dan begitu
menyayangi satu sama lain.
Aku nggak tahu bagaimana keluarga-keluarga yang lain
bersikap dan berusaha menyikapi ini semua sedari awal tapi yang pasti mereka
mereka yang kukenal kebanyakan nggak begitu. Mau gila rasanya.. Karena entah
hanya kami yang aneh, atau justru orang-orang yang merasa bebas berkeliaran di
luaran sanalah yang aneh sekarang.
Aku cuma nggak ngerti. Aku sudah terlalu dibuat
bingung karena hal yang benar dan yang salah sudah saling teraduk, tercampur,
tertumpuk dan terlarut jadi pernyataan dan pertanyaan baru yang bisa membutakan
nggak hanya ke mata, tapi hati dan juga otak.
Kamu
juga pasti bingung, kan? Kamu juga dilema parah kan sama keadaan kita yang
kayak gini?
Ayolah jujur dan bilang padaku kalau kamu juga pasti sudah nggak
tahu lagi harus berbuat apa karena merasa diam di rumah selama ini seperti sia-sia,
tetapi jika keluar dan merasa sudah normal normal saja pun malah jadi sama saja
seperti orang-orang yang nggak menaati apapun sedari awal, kan? Tolong, tolong
bilang bahwa nggak cuma aku yang terus menerus berpikiran seperti ini setiap
menitnya.
Kamu juga.. kan?
Sedih
banget rasanya karena aku yang dulu kalau mau main kesana kemari tinggal bilang
dan pamit, sekarang harus izin pelan-pelan sambil berusaha mengontrol ekspresi,
intonasi, dan kata-kata supaya nggak terlihat ‘benar-benar ingin main’.
Mungkin cuma aku.
Entah kenapa dari sekian banyak manusia di grup chat itu, aku pikir cuma akulah yang harus sesusah itu untuk bicara sama orangtua dan sudah pasti nggak akan diizinin pada akhirnya. Iya, mungkin memang cuma aku.
Mungkin cuma aku.
Entah kenapa dari sekian banyak manusia di grup chat itu, aku pikir cuma akulah yang harus sesusah itu untuk bicara sama orangtua dan sudah pasti nggak akan diizinin pada akhirnya. Iya, mungkin memang cuma aku.
Jujur
saja. Kadang aku iri melihat air laut yang diposting. Melihat trotoar yang
diposting. Melihat tempat tempat bagus dan senyum-senyum bahagia bersatu dalam
satu bingkai foto yang diposting. Rasanya seperti, ini pandemi tapi kenapa mereka
bisa sangat bersenang-senang?
Aku
nggak tahu apakah ini perasaan yang wajar. Tapi aku merasa aneh. Aku merasa turut
berbahagia, tapi juga merasa sangat nggak terima di satu sisi.
Rasanya seperti,
aku yang sudah capek dan merelakan ego untuk mengkarantina diri selama empat
bulan penuh dan patuh pada semua instruksi yang ada, tapi kenapa justru malah mereka yang
pergi main? Mereka terlihat begitu bersenang-senang, bahkan saat aku masih tetap harus
dikurung dan dirundung kebosanan.
Kamu
tahu?
Rasanya cuma.. sedikit nggak adil bagi separuh perasaanku.
Rasanya cuma.. sedikit nggak adil bagi separuh perasaanku.
Kadang
aku cuma.. nggak terima aja.
Kadang
aku ngerasa, diem di rumah selama ini, patuh banget sama pemerintah kayak gini,
ngefek nggak sih sebenernya? Adakah keuntungan yang bisa lebih menguntungkan
aku ketimbang orang-orang yang ‘nggak bisa diem’ di luaran sana? Adakah poin
plus nya? Bagi orang-orang yang serius patuh karena ingin semuanya cepat
berlalu?
Dan
kupikir nggak.
Kupikir seberapa lama pun kita tetap diam di rumah, itu sama
sekali nggak akan menjadikan bumi cepat sembuh atau menjadikan wabah ini cepat
hilang. Kenapa? Karena kupikir yang berpikir bodo amat sekarang sudah hampir semuanya.
Semua orang berpikir kita sudah baik-baik aja dan semua orang pikir sudah nggak
ada lagi yang harus diwaspadai seserius itu.
Padahal nggak..
Padahal seharusnya
kupikir kita bisa membuat semuanya benar-benar membaik seandainya mau sama sama bersabar
sebentar lagi. Tapi nyatanya sudah nggak bisa, kan? Nyatanya yang nggak mau
dengar ya nggak mau dengar saja. Begitu, kan? Yang nggak mau peduli, ya nggak peduli saja.
Jadi, selama ini aku berpikir.. apakah karantina empat bulan ini akan sia-sia pada akhirnya?
Karena mungkin pada akhirnya karantina hanya akan menjadi sebuah pilihan, bukan lagi kewajiban
seperti di awal awal.
Yang mau karantina ya karantina. Yang mau pergi main ya
pergi main. Yang imunnya kuat ya jadi carrier untuk menularkan ke yang lemah.
Yang imunnya lagi lemah ya mau nggak mau akan terinfeksi dan berguguran satu per satu.
Ya gitu saja
pada akhirnya. Seperti pertarungan seleksi alam. Yang kuat saja yang bertahan sampai ke final. Dan mungkin akan
terus menerus begitu entah sampai kapan.
Melihat
kenyataan dan perbedaan pemikiran di tengah masyarakat kita sampai saat ini,
aku justru malah nggak bisa melihat masa depan apapun lagi. Aku merasa sudah nggak ada lagi
bentuk masa depan indah yang bisa kubayangkan saat sedang melamun seperti biasanya. Apakah itu
masa depanku, masa depan teman-temanku, atau masa depan negri ini juga masa depan kita semua.
I see.. blank.
Melihat
kondisi kita yang bener-bener sekacau ini, bertindak seenaknya, berlaku semaunya, dan
nggak bisa lagi diajak ‘sejalan’ pola pikirnya, aku bener-bener sudah nggak bisa
melakukan apapun lagi selain pasrah.
Ya,
Allah, aku pasrah.
Aku sebenernya mau banget banget pergi main kayak temen-temenku yang lain tapi
aku pasrah saja deh :(
Aku
merasa sudah nggak benar dan sekaligus nggak salah meminta izin untuk
keluar main saat menyadari keadaan kita masih harus kayak begini.
Nggak benar,
karena sudah ratusan kali aku diberitahu bahwa dicabutnya PSBB di Jawa Barat nggak
menjadi tolok ukur bahwa manusia dan lingkungannya sudah aman dan boleh kembali
menjalani hidup normal.
Nggak salah, karena nyatanya aku memang kehilangan
separuh jiwaku selama kurang lebih empat bulan nggak pergi main. Jiwaku nggak
seharusnya terkekang selama ini, aku tahu bahwa ada bagian dari diriku yang
terus menerus memberontak setiap kali aku bangun dan hendak tidur.
MEMBOSANKAN,
jeritnya. MEMBOSANKAN DAN MEMATIKAN!
Ya, tentu saja.
Bahkan sejak hari pertama aku dikurung di dalam rumah, rasanya sebagian jiwaku memang telah mati saat itu juga. Mati bosan.
Ya, tentu saja.
Bahkan sejak hari pertama aku dikurung di dalam rumah, rasanya sebagian jiwaku memang telah mati saat itu juga. Mati bosan.
Jadi,
bolehkah aku pergi main?
Setelah
seringnya perdebatan panjang dengan Ayah dan Ibu, setelah banyak pertengkaran
dengan keluarga kecilku yang saling menyayangi, setelah semua itu, bahkan
setelah pembicaraan kami sore tadi, kesimpulannya tetap sama. Dan kupikir akan terus sama hingga
entah sampai kapan.
Boleh.
Boleh
pergi main.
Boleh
pergi main yang jauh bersama teman-teman yang gila sepuasnya.
Boleh,
tapi tidak sekarang-sekarang.
Lalu
kapan?
Kapan
saja.
Entah
kapan.
Entah
kapan yang bisa diprediksi ataukah kapan yang dipasrahkan.
Kapan-kapan,
entah kapan.
Ibu
dan Ayah selalu bilang padaku, “Sabar, sabar, sabar.”
Mungkin sudah jutaan kali aku mendengarnya hingga bosan.
Mungkin sudah jutaan kali aku mendengarnya hingga bosan.
Iya, sabar. Tapi,
sampai kapan?
Sampai kapan aku harus bersabar seperti ini?
Sampai kapan aku
harus menolak ajakan-ajakan teman dan memilih untuk tetap diam di rumah dengan
sejuta kehampaan?
Sampai kapan aku harus menjadi berbeda dengan memilih nggak
pergi kemana pun, dengan selalu memakai maskerku, dengan selalu mencuci tangan
bahkan setelah menyakukan uang kembalian da jadi bahan olok-olok tetangga? Aku bahkan nggak tahu harus bersabar
sampai berapa lama lagi. Bahkan para pemerintah juga sudah
pusing dan nggak bisa mengira-ngira di mana titik akhirnya.
Benar. Hanya
Allah. Pada akhirnya memang cuma Dia satu-satunya.
Benar kata Ayah tadi sore. Allah lah yang punya kendali sama semuanya.
Ketika pemerintah, masyarakat, dan lingkungan memang udah nggak bisa lagi
saling bantu, Allah bisa. Allah yang mengadakan dan meniadakan, Allah yang menanamkan
dan kemudian mencabutkan.. Allah cuma perlu diminta, kan?
Guys.
Aku mau kita sama sama berdoa sekarang. Berdoa semoga bumi lekas sembuh. Semoga dunia beserta para penghuninya cepat sadar dan pulih seperti sedia kala.
Aku mau kita sama sama berdoa sekarang. Berdoa semoga bumi lekas sembuh. Semoga dunia beserta para penghuninya cepat sadar dan pulih seperti sedia kala.
Dan
semoga.. aku boleh pergi main!! 😔😔😔[]
Semoga kamu kuat.
ReplyDelete