“We're getting more and more complicated.
There are too many things
I wanna tell and ask.
About you, about us.
About the June..."
About the June..."
---------------------------------------------------------------
"Kamu dan Juni ada kerjasama apa, Mar?”
“Apa maksudmu kerjasama?”
“Ya, kerjasama. Habisnya kalian sama banget, sih.
Sama jahatnya. Sama sadisnya. Sama plot twist-nya."
"Apa, sih. Nggak usah overthinking kamu. Nanti cepat mati."
-P e r i h a l
J u n i .
[ P R O L O G ]
Hai, terima kasih sudah mau meluangkan
waktumu untuk mampir lagi. Bulan Juni masih baik mau mempertemukan kita lagi di
sini meskipun entah kita sama-sama menganggap ini sebagai sebuah pertemuan atau
ternyata cuma aku sendiri yang berpikir seperti itu. Gapapa. Nggak selamanya
sudut pandang kita harus selalu sama, kan?
Ini adalah sekuel keempat dari
serangkaian cerita paling rumit yang nggak berjudul. Episode kali ini mungkin
akan sedikit berat—dan lebih panjang—dari episode-episode sebelumnya karena aku
akan menuangkan banyak pikiran dan perasaan yang selama ini menjadi pemicu
lahirnya semua sekuel yang kubuat. Kalau suatu saat kamu bertanya padaku tentang
genre-nya, jujur saja kadang aku juga masih bingung harus menjawab apa,
hehe. Pasalnya, cerita ini bisa aja jadi drama romantis picisan di paragraf awal
lalu mendadak berubah jadi thriller psikopat di paragraf setelahnya, serius!
Kalau nggak percaya, ya baca aja.
Kamu mungkin nggak begitu menyadarinya
tapi sebenarnya cerita ini berlumuran banyak darah dan air mata meskipun nggak
benar-benar harus kurincikan secara langsung. Tapi di sisi lain, ada juga bagian-bagian
menyenangkan dan makna hidup yang bisa kita jadikan pelajaran supaya nggak lagi
jadi manusia bodoh untuk kesekian kalinya. Manusia polos yang naif dan bodoh.
Oh, ya. Bicara soal polos, apakah menurutmu kedewasaan seseorang bisa diukur dari itu? Semakin banyak pengalaman yang didapat,
artinya kepolosan seseorang akan berkurang. Semakin nggak berpengalaman, maka otomatis akan jadi
semakin polos dan naif. Bukankah begitu cara kerjanya? Atau nggak begitu?
Kalau aku sendiri sih, merasa belum dewasa karena masih
suka plin-plan dan berubah-ubah, padahal tahun depan sudah mau kepala dua.
Waktu benar-benar cepat berlalu, ya..? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memangnya
orang dewasa juga nggak begitu? Suka berubah. Segala hal pada dasarnya
memang mudah berubah, kukira. Ingat pelajaran IPA waktu SD, kan? Tentang membeku,
tentang menyublim, tentang mencair dan mengembun. Kupikir, benda mati saja bisa berubah dengan cepat seperti itu, apalagi hati, cita-cita, dan logika? Semua hal bisa berubah pada akhirnya.
Termasuk aku, termasuk Mar, termasuk apa apa yang menyangkut semua perihal kita.
Tidak tahu apakah aku harus berterima
kasih atau mencaci maki di bulan keenam ini, tapi yang jelas karena Juni, aku jadi
tahu kalau perubahan hati manusia itu nggak mengenal yang namanya waktu. Karena Juni pula, aku akhirnya sadar bahwa pada
dasarnya Mar memang nggak diciptakan untuk menjadi satu-satunya tempat pulang.
Mar bukan rumah dan aku juga bukan penghuninya.
Secara nggak langsung, sebenarnya waktu itu Juni sedang berusaha menasihatiku melalui setiap ruas perih yang disuguhkannya.
Setiap gores luka mengandung makna, setiap tetes air matamu pasti ada pelajarannya, Sayang.
Tapi bodohnya aku malah tutup telinga! Aku selalu tutup telingaku rapat-rapat setiap Juni hendak mulai bicara. Dan ternyata di situlah letak kesalahanku selama ini. Karena sejak awal nggak mau mengerti, aku jadi nggak akan pernah bisa benar-benar mengerti apapun pada akhirnya. Aku sama sekali clueless dengan apa yang sebenarnya semesta rencanakan untukku waktu itu. Aku nggak dapet poinnya, aku nggak bisa meraba akan kemana ujungnya, aku bahkan sempat jadi gila karena aku benar-benar nggak ngerti lagi sama pola pikirnya. Juni.. oh, sial.
Dan konyolnya adalah, kenapa baru sadar semuanya sekarang?
"Penyesalan memang selalu datang di akhir," seseorang pernah bilang begitu.
Lagian siapa juga yang menyesal? Sudahlah, penyesalan itu nggak ada gunanya. Nggak peduli apakah dia mau ada di awal atau di akhir.
Mungkin memang sudah terlambat, mungkin
memang sudah nggak ada gunanya lagi untuk baru bisa mengerti semuanya setelah dua
belas bulan terlewati. Logikanya mungkin begitu, ya. Tapi, pernah kepikiran nggak, sih? Bahwa seenggaknya perasaan kita bisa jadi lebih lega setelah akhirnya tahu letak salahnya di mana dan menemukan solusi seharusnya bagaimana. Meskipun sudah lewat.
Itu. Itu persis dengan apa yang kurasakan saat aku menulis kalimat ini sekarang.
Ternyata, setelah dipaksa untuk mengingat-ingat kembali, semuanya
memang masuk akal sedari awal. Logis logis aja, nggak ada masalah. Kalau dilihat dari sudut pandang logika, keputusan Mar emang udah paling bijak untuk lebih memilih pergi pada akhirnya. Tapi kalau dari sisi perasaan, menurutku dia udah nggak ada bedanya sama Red Velvet. Psycho.
Juni hanya ingin aku jadi perempuan kuat, bukan yang lemah. Perempuan yang bisa berpikir cerdas, bukan yang bisa diperbudak. Juni ingin aku jadi versi diriku yang lebih baik, jadi dia mengirimkan Mar dalam bentuk luka supaya aku lebih berhati-hati lagi ketika suka.
--P e r i h a l J u n i.
Sekian prolog episode kali ini. Selamat membaca dan mengevaluasi diri, semoga nggak mengulang cerita yang rusak dua kali.
---
Ini semua gara-gara Mei!
Sejak awal, aku sudah tahu bahwa semuanya memang berawal
dari Mei. Mei yang manis, Mei yang lugu, Mei yang kusayang-sayang pada masanya. Perihal Juni nggak akan pernah lahir ke dunia andai Cerita Mei nggak pernah
tertulis dalam susunan takdir.
Kamu tahu?
Cerita Mei pada akhirnya harus menghantarkanku
ke belahan lain Pulau Jawa; Jember. Sebuah kota pesisir pantai, teramat jauh
dari suasana kota kembang dan segala isinya yang selalu menghanyutkanku pada
memori-memori lama. Bulan Juni di mulai di sana, begitu pula dengan segala hal
yang ada di dalamnya.
Saat itu adalah pertama kalinya aku
nggak benar-benar bisa menikmati liburanku sendiri. Rasanya seperti ada yang
mengganjal di dalam sini, seakan-akan jiwaku nggak benar-benar menyatu dengan raganya atau apalah. Ini sama sekali nggak
semudah yang aku kira pada awalnya. Nggak mudah karena mau nggak mau aku harus meninggalkan jejak
cerita dengan Mar yang sebenarnya masih ingin kunikmati lembar demi lembarnya
lebih lama tapi harus terpaksa kubuat bersambung seperti iklan kopi. Nggak mudah karena saat itu nggak
hanya beban dalam ransel dan koper saja yang kuseret, tapi juga pikiran dan perasaan
campur aduk yang nggak sengaja terbawa sampai kemari.
Jelas sama sekali nggak mudah karena di sana nggak ada Mar. Intinya kan itu.
Berat sekali rasanya harus bertahan
berminggu-minggu sambil terpaksa berkawan dengan jarak dan waktu yang sekalinya menyiksa
sudah seperti psikopat di series, sadis dan berdarah-darah. Bahkan, segala hal yang
seharusnya mudah saat itu pun jadi terasa sepuluh kali lebih rumit dan kamu tahu? Itu sama sekali
nggak berefek bagus baik untuk kesehatan fisik, mental, maupun kewarasanku. Liburan sih iya liburan, tapi kalau feel and mind-nya kosong mau refreshing di bagian mananya?
Well, aku nggak tahu apakah itu adalah
sesuatu hal yang wajar ketika kamu sedang berada jauh dari seseorang yang
sangat ingin kamu temui tapi sekarang aku sadar bahwa selama ini Mei
benar-benar sudah menjadikanku perempuan paling buta, tuli, bisu, dan juga lemah
yang pernah ada. Bisa dibilang, it was the worst ever version of me. Mungkin aku memang dapat Mar, tapi secara nggak sadar aku juga kehilangan semuanya pada
saat yang bersamaan. Aku kehilangan kekuatanku, aku kehilangan logikaku, aku
kehilangan kebahagiaan sederhanaku beserta semua perintilannya, dan paling parahnya lagi adalah: Aku kehilangan diriku sendiri.
Aku menemukan Mar.. tapi aku kehilangan aku.
Perasaan yang semula kukira menyembuhkan, nyatanya malah membunuhku perlahan.
Ya, benar. Kusangka selama ini aku sudah mencoba bunuh diri berulang kali tanpa mati. Semua kecemasan itu membunuhku, semua ekspektasi yang ada itu
membunuhku. Aku baru sadar bahwa dengan Mar, aku hanya akan terus terbunuh,
terbunuh, dan terbunuh dengan lebih kejam lagi setiap harinya.
"Sesuatu yang menyakitkan pada dasarnya memang nggak perlu dipertahankan. Perihal Juni, seharusnya sudah kulepaskan saja dia sedari awal."
---
Kepergian Mei sudah banyak menguras
air mataku waktu itu. Entah sudah berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia
dengan menenggelamkan diri dalam lautan kecemasan yang sebenarnya kuciptakan sendiri. Sepertinya, nggak ada istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaaan itu selain overthinking.
Ah, mau bagaimana pun transisi Mei ke Juni memang yang terburuk dalam jangka waktu setahun terakhir. Kamu pernah dengar istilah 'adaptasi'? Mar yang mengenalkannya padaku dulu. Mirip seperti adaptasi ekologi hewan, namun ini versi lebih dibuat-buatnya. Dia bilang aku harus pandai beradaptasi supaya masih bisa hidup senang jika suatu hari nanti kami dipisahkan oleh jarak dan waktu. Kenapa mesti susah susah pakai istilah adaptasi segala, sih? Padahal tinggal bilang saja langsung, kalau mau nggak mau aku sudah harus siap kapanpun akan dicampakkan olehnya. Bukankah begitu maksud tersiratnya, Mar?
Akhir Mei dan permulaan Juni benar-benar sudah membuatku hampir gila. Menangis sudah jadi kegiatan rutin 24/7-ku hanya karena perdebatan yang nggak berujung dengan pikiran dan perasaanku sendiri.
Di mana Juni menyembunyikan kewarasanku? Entah.
Tapi justru menangis nggak menjadi pelarian yang bagus karena nggak membuatku merasa jadi lebih baik atau apa. Sesaknya masih sama saja, bebannya sama sekali nggak berkurang. Menangis cuma membuatku kesal karena kalimat ini selalu saja terlintas di kepala,
Apakah air mata ini terbuang sia-sia atau justru memang sudah sepantasnya begini?
Apakah hal yang sedang kutangisi saat ini adalah sesuatu yang memang seharusnya benar-benar kutangisi dengan sungguh-sungguh?
Lagipula, akhir Mei dan awal Juni
memang sudah cukup cari gara-gara di umur ketujuh belasku yang rapuh. Waktu itu, tanggal
31 Mei setahun yang lalu, aku dilarikan ke UGD gara-gara kecelakaan bodoh yang
kusebabkan sendiri: Mataku tertusuk kuku jariku sendiri yang lagi berlumuran
sabun di kamar mandi, dan aku nggak bisa melihat dengan jelas sampai beberapa hari. Untung
cuma abrasi kornea mata katanya, tapi ya mungkin parah(?) makanya sampai harus langsung ditransfer
ke rumah sakit besar karena puskesmas bilang sudah nggak bisa. Konyol memang, terkadang ada-ada
saja semesta merancang skenarionya.
Sempat terlintas dalam benak,
"Bagaimana jika
setelah hari itu, aku benar-benar ditakdirkan untuk nggak bisa melihat dunia lagi
dengan mata kepalaku sendiri?"
Ah, mengerikan. Mungkin ceritanya juga akan lain, kan.
Satu hal yang masih terpikirkan olehku di masa sekarang adalah,
"Secemas itukah aku pada Mar dan segala
perasaannya sampai aku nggak bisa berkonsentrasi dengan segala hal yang sedang
kulakukan?"
Sampai nggak bisa mengurusi diriku sendiri, sampai nggak ingat
dengan duniaku sendiri.. Ah, andaikan waktu itu sudah jauh lebih mengerti, aku
nggak perlu pusing pusing dikendalikan sama berbagai kekhawatiran dan
ekspektasi semuku itu.
Terbukti nyatanya benar,
bahwa kecemasan dan
harapan yang berlebihan hanya akan mencelakakan kita pada akhirnya.
---
Belum apa-apa, Juni sudah menyambutku
dengan banyak goresan luka. Entah itu di mata, entah itu di hati. Rasanya kasar
sekali melihat caranya memperlakukan gadis naif yang sedang dibutakan oleh
perasaan fana sepertiku, padahal baru juga pertama kali bertemu. Memang ggak ada
sopan-sopannya sama sekali bulan ini.
Juni.
Juni, ya.
Dia yang paling banyak menguras emosi
dan paling menyulitkan dalam kepingan memoriku yang tersisa. Kalau boleh jujur,
sebenarnya aku nggak terlalu seneng ngomongin dia. Juni itu nggak sebaik April
dan nggak semanis Mei. Juni itu ngeselin parah. Dia suka menciptakan
kepribadian ganda yang aku sendiri aja kadang nggak sadar kalau ternyata hati
dan pikiranku lagi seenaknya diubah-ubah sama dia. Misal, jika hari ini Juni
sudah menerbangkanku tinggi sampai menembus eksosfer, beberapa jam setelahnya dia
bisa saja langsung menenggelamkanku ke dasar Palung Mariana yang paling dalam,
paling gelap, dan nggak berujung.
Sudah gila. Juni memang sudah gila.
Sudah gila. Juni memang sudah gila.
Sejak kedatangan Juni, aku sudah
nggak lagi berpikir jika Mar masih sama. Mungkin secara fisik memang nggak ada
yang berubah, tapi nggak dengan hatinya. Pola pikirnya berubah. Caranya
memandang kami yang berubah. Keyakinannya, kemungkinan-kemungkinannya, hingga perasaannya
untukku juga sudah nggak terasa sama lagi.
Well, something must be wrong, right?
Entah salah di bagian mananya, aku hanya
nggak tahu harus bagaimana waktu itu.
Aku nggak tahu harus bagaimana karena
Juni sudah memutar balikkan Mar seratus delapan puluh derajat hanya dalam waktu nggak sampai sehari. NGGAK
SAMPAI SEHARI. Aku hanya terlalu terkejut dengan perubahannya yang terlalu
cepat dan nggak jelas. Bagiku durasi perubahan sikap, rasa, dan logikanya itu
benar-benar udah kelewat nalar. Bahkan kapur barus saja butuh waktu
berbulan-bulan untuk bisa menyublim sampai jadi gas, kan?
Aku cuma bingung. Aku cuma nggak
terbiasa dihadapkan dengan perubahan situasi yang mendadak dan aku juga nggak
bisa kalau tiba-tiba harus acuh seakan-akan hari-hari lalu kita nggak pernah
tercipta dalam lembar cerita.
Kamu unik, Mar.
Kamu unik karena kamu sudah menyuguhkan rasa baru dalam sejarah kehidupanku. Rasa bingung, cemas, takut, sedih, dan kecewa teramat dalam yang bercampur jadi satu. Sebuah rasa yang selama ini nggak pernah kutahu bagaimana sengsaranya, dan kamu tanpa permisi memaksaku untuk menelan semuanya bulat-bulat dalam waktu satu malam saja.
Benar.
Kamu memang unik, Mar.
Tapi sayang, terkadang kamu lupa bagaimana caranya beretika.
Kamu unik karena kamu sudah menyuguhkan rasa baru dalam sejarah kehidupanku. Rasa bingung, cemas, takut, sedih, dan kecewa teramat dalam yang bercampur jadi satu. Sebuah rasa yang selama ini nggak pernah kutahu bagaimana sengsaranya, dan kamu tanpa permisi memaksaku untuk menelan semuanya bulat-bulat dalam waktu satu malam saja.
Benar.
Kamu memang unik, Mar.
Tapi sayang, terkadang kamu lupa bagaimana caranya beretika.
Kamu pikir kamu bisa mengendalikanku?
Kamu pikir aku akan langsung
melupakan semuanya dan baik-baik saja dengan itu?
Kamu pikir hanya dengan waktu satu
malam, kita bisa sama-sama terlahir kembali menjadi dua manusia berbeda yang
nggak pernah punya riwayat hidup yang sama?
Mar, aku minta maaf tapi caramu kelewat
egois.
Kamu mungkin merasa bahwa tindakanmu
waktu itu sudah paling benar. Kamu bisa menjelaskan padaku semua alasan A-Z
yang logis dan nggak terbantahkan hanya bermodalkan pikiran dan logika yang
kamu punya.
Ya, memang.
Aku mengakui bahwa secara logika, kamu nggak salah sama sekali dengan mengutarakan semua pendapatmu mengenai kita. Aku salut sama kemandirianmu, kagum betapa bijaknya bicaramu, juga sempat tersihir oleh pola pikir kritismu yang realistis dan futuristik menurut sangkamu sendiri. Tapi ada hal-hal penting yang terlewat, Mar.
Kamu lupa.
Ya, memang.
Aku mengakui bahwa secara logika, kamu nggak salah sama sekali dengan mengutarakan semua pendapatmu mengenai kita. Aku salut sama kemandirianmu, kagum betapa bijaknya bicaramu, juga sempat tersihir oleh pola pikir kritismu yang realistis dan futuristik menurut sangkamu sendiri. Tapi ada hal-hal penting yang terlewat, Mar.
Kamu lupa.
Kamu lupa bahwa dalam cerita ini nggak
hanya hidup dirimu seorang.
Kamu lupa bahwa dalam permainan hati ini, nggak hanya ada perasaanmu yang menjadi peran.
Kamu lupa bahwa jika salah satu tokoh utamanya hilang, cepat atau lambat ceritanya juga akan usai.
Kamu lupa bahwa dalam permainan hati ini, nggak hanya ada perasaanmu yang menjadi peran.
Kamu lupa bahwa jika salah satu tokoh utamanya hilang, cepat atau lambat ceritanya juga akan usai.
Mar, dengar.
Kamu sudah lupa mempertimbangkan perasaanku. Kamu lupa nggak merundingkan semua perubahan dan perpisahan ini dulu denganku.
Kamu sudah lupa mempertimbangkan perasaanku. Kamu lupa nggak merundingkan semua perubahan dan perpisahan ini dulu denganku.
Mar, kamu lupa aku.
---
Kabar buruk serta rasa sakit nggak berhenti berdatangan seperti ombak yang kulihat di pantai waktu
itu. Datang lalu surut lagi. Datang lagi lebih besar, lalu pergi sembari mengikis
mentalku sedikit demi sedikit. Rasanya saat itu perasaanku sudah nggak jauh
berbeda dengan hamparan pasir lemah dengan serpihan cangkang kerang di pesisir pantai.
Mudah terkikis, rentan tertiup angin.
Mudah terkikis, rentan tertiup angin.
Masih di hari yang sama, kamu jadi
orang pertama yang tahu bahwa nilai ujian masuk universitas gelombang keduaku
jauh dari yang kita harapkan sebelumnya. Tadinya kupikir kita akan tetap bersaing
sehat seperti bulan-bulan sebelumnya, tapi ternyata kali ini aku harus kalah
banyak. Selamat ya, Mar. Semesta bilang kali ini kamu yang menang.
“Udah, nggak apa-apa, yang penting
kan udah berusaha.”
Begitu reaksi Mar mendengar bunyi angka yang keluar untuk skor ujianku. Bosan kan, dengarnya? Kalau kita
sedang gagal, orang lain pasti berusaha menghibur dengan kalimat semodel itu. Semuanya
sama saja. Kalau sudah begini, rasanya semua orang jadi satu template. Mereka
seenaknya bilang begitu karena mereka nggak tahu bagaimana rasanya di posisisi
kita, kan? Kalau sudah begini, rasanya semua jadi serba salah.
But overall,
terima kasih buat Mar. Aku tahu dia nggak akan pernah baca ini tapi jika suatu
saat satu dari kamu nggak sengaja bertemu dengannya tolong sampaikan terima
kasih ini. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan tangisanku yang nggak guna di
siang hari yang cerah itu. Terima kasih karena sudah mau diganggu dan dibuat kesal dengan
segala tingkah laku kekanak-kanakan yang kadang emang nggak dipikir dulu. Sebenarnya
aku hanya mencoba berbagai cara yang tadinya kupikir bisa meredam semua rasa
cemas yang ada, tapi nyatanya nggak ada yang berhasil.
Pada kenyataannya, nggak ada yang benar-benar
bisa membuatku merasa lebih baik, Mar. Bahkan kamu sekalipun.
Kamu sudah berusaha yang terbaik untuk
jadi obat penenangku yang paling manjur. Kamu sudah berusaha untuk tetap jadi
sosok Mar yang kukenal tapi entah kenapa di beberapa sisi, aku merasa auramu sudah
nggak sehangat dulu lagi. Aku nggak tahu apakah hanya pikiranku saja yang menyelam
terlalu dalam di lautan overthinking-nya, atau memang pada dasarnya kamu
benar-benar sudah nggak lagi sama tanpa kamu sadari. Karena mau bagaimanapun
kamu menyangkal, rasamu memang sudah berbeda sejak awal kedatanganku di kota
ini. Bohong kalau kamu tetap bilang tidak ada apa-apa dan semuanya baik-baik saja.
Memangnya kamu pikir otakku ini cuma pajangan?
Butuh waktu berhari-hari hingga akhirnya
aku berani untuk mengutarakan semuanya padamu di tanggal satu.
Perihal rasa
sakit yang kamu tancapkan padaku setiap hari, perihal kesedihan yang mengalir
paksa dari mata, mulut, dan telingaku yang saling tersumbat, semua keresahan,
segala kerisauan, segenap ketakutan. Asal kamu tahu, Mar, sulit sekali rasanya harus
memendam semua mimpi buruk itu sendirian selama ini.
Dan aku masih ingat reaksi pertamamu hari
itu.
"Ah, mungkin cuma perasaanmu saja. Apa kamu nggak berpikir kamu terlalu nethink? Aku nggak merasa ada yang berubah, kok. Rasanya nggak ada yang berbeda sama sekali dariku apakah itu kemarin, hari ini, atau lusa.”
“Nggak. Bagiku pernyataan dan kenyataan nggak sesuai. Kamu nggak sama dengan kamu yang kemarin, Mar."
“Sebelah mananya yang nggak sama, sih?!”
“Semuanya! Apa harus kusebutkan semua detilnya satu per satu? Bagian mana yang berubah, aku sudah cukup teliti selama ini. Kamu nggak bisa berbohong padaku atau dirimu sendiri, Mar. Nggak sepertimu yang cuma mengutamakan logika, aku lebih banyak menilaimu dari hati. Karena itu tolong jawab pertanyaanku,
kenapa memperlakukanku seperti ini?”
"Ah, mungkin cuma perasaanmu saja. Apa kamu nggak berpikir kamu terlalu nethink? Aku nggak merasa ada yang berubah, kok. Rasanya nggak ada yang berbeda sama sekali dariku apakah itu kemarin, hari ini, atau lusa.”
“Nggak. Bagiku pernyataan dan kenyataan nggak sesuai. Kamu nggak sama dengan kamu yang kemarin, Mar."
“Sebelah mananya yang nggak sama, sih?!”
“Semuanya! Apa harus kusebutkan semua detilnya satu per satu? Bagian mana yang berubah, aku sudah cukup teliti selama ini. Kamu nggak bisa berbohong padaku atau dirimu sendiri, Mar. Nggak sepertimu yang cuma mengutamakan logika, aku lebih banyak menilaimu dari hati. Karena itu tolong jawab pertanyaanku,
kenapa memperlakukanku seperti ini?”
Hari itu.. rasanya aku mau menangis
lebih banyak.
Mungkin akan lebih seru jadinya jika kami benar-benar berseteru secara empat mata seperti adegan dalam drama, tapi itu nggak akan pernah terjadi. Aku nggak suka orang yang bertele-tele dan mencari pembenaran kesana kemari untuk menyembunyikan perasaannya sendiri. Aku selalu bertanya-tanya selama ini..
Apa sulitnya, sih, jujur pada dirimu sendiri? Sesulit itu juga ya, jujur pada orang lain?
Mengapa terkadang manusia nggak bisa saling jujur dan mengerti satu sama lain?
Mungkin akan lebih seru jadinya jika kami benar-benar berseteru secara empat mata seperti adegan dalam drama, tapi itu nggak akan pernah terjadi. Aku nggak suka orang yang bertele-tele dan mencari pembenaran kesana kemari untuk menyembunyikan perasaannya sendiri. Aku selalu bertanya-tanya selama ini..
Apa sulitnya, sih, jujur pada dirimu sendiri? Sesulit itu juga ya, jujur pada orang lain?
Mengapa terkadang manusia nggak bisa saling jujur dan mengerti satu sama lain?
---
Hai. Ini aku. Aku kembali lagi setelah 12
bulan berhasil hidup tanpa membawa-bawa bahasan tentang ini lagi. Aku kembali menyelami ingatan-ingatan lama yang nggak menyenangkan itu
lagi setelah satu tahun berganti hari demi hari.
Aku kembali bukan untuk mengenang, bukan juga untuk menyesal apalagi berharap untuk kembali. Tapi
untuk belajar lebih menghargai, belajar lebih bersyukur, belajar lebih mandiri
dan belajar untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama dua kali.
Sebagai konklusi, ternyata sedari
awal visiku dan visi Mar sudah nggak sama. Aku maunya ke kanan, dia inginnya ke kiri. Masih
ingat kata-kataku di Soal April, kan? Tentang kesadaranku akan perbedaan yang
jika dipaksakan hanya akan saling menghancurkan.
April benar soal
segalanya. Aku yang salah karena sudah menganggapnya sebagai lelucon sampah
yang nggak penting untuk didengar. Sekarang aku sadar betapa keras kepalanya aku selama ini. Betapa aku
nggak mudah untuk meyakini sesuatu sebelum terjun dan mencicipinya sendiri. Betapa rasanya aku nggak mudah untuk berhenti sebelum terjerembab dan kena batunya sendiri. Dan Mar
adalah batuku. Batu paling tajam yang pernah singgah ke pekaranganku dengan memanipulasi rupanya di antara bunga-bunga.
Aku sudah paham sekarang bahwa sejak
awal, Mar memang nggak berniat denganku. Perasaannya selama ini belum
sepenuhnya nyata.
Kalau dipikir-pikir lagi, dia memang nggak pernah minta untuk jadi prioritas juga. Dia nggak pernah sekalipun minta untuk jadi satu-satunya orang yang harus kupikirkan di masa sekarang ataupun yang akan datang. Seharusnya aku sudah sadar dari lama. Seharusnya aku sadar bahwa sejak awal Mar memang nggak pernah menjanjikan apapun padaku. Dia cuma sekadar nyaman dengan segala perhatian dan curahan ketulusan yang aku beri secara cuma cuma tanpa mau balas terlibat dengan perasaannya sendiri lebih jauh.
Kalau dipikir-pikir lagi, dia memang nggak pernah minta untuk jadi prioritas juga. Dia nggak pernah sekalipun minta untuk jadi satu-satunya orang yang harus kupikirkan di masa sekarang ataupun yang akan datang. Seharusnya aku sudah sadar dari lama. Seharusnya aku sadar bahwa sejak awal Mar memang nggak pernah menjanjikan apapun padaku. Dia cuma sekadar nyaman dengan segala perhatian dan curahan ketulusan yang aku beri secara cuma cuma tanpa mau balas terlibat dengan perasaannya sendiri lebih jauh.
Betapa egoisnya. Sepertinya dia memang sudah paling cocok ya, jadi tokoh antagonis di dalam cerita ini.
Selama ini kita saling mendayung di satu
perahu yang sama tanpa menyadari jika arah muara kita sebenarnya berbeda.
Keegoisan nggak akan pernah menjadikan
kita satu tujuan.
Jika bukan salah satunya yang harus mengalah, maka salah
satunya lah yang harus rela melompat keluar dari perahu dan tercebur ke laut.
Jika menyatukan visi
saja sudah nggak bisa, maka satu satunya jalan cuma berpisah.
"Kalau kamu pikir aku berubah, mungkin maksudmu adalah ini.
Memang benar kalau pada dasarnya manusia itu munafik, idealisme seseorang bisa berubah kapan saja. Nggak menutup kemungkinan itu akan terjadi padamu atau padaku. Bukan hal yang mustahil jika itu terjadi sekarang atau lusa, dan kamu harus tahu itu.”
"Kalau kamu pikir aku berubah, mungkin maksudmu adalah ini.
Memang benar kalau pada dasarnya manusia itu munafik, idealisme seseorang bisa berubah kapan saja. Nggak menutup kemungkinan itu akan terjadi padamu atau padaku. Bukan hal yang mustahil jika itu terjadi sekarang atau lusa, dan kamu harus tahu itu.”
Mar.. Kata-katamu bagus sekali. Aku sampai lupa bahwa salah satu hal kesukaanmu adalah berdebat. Kelihatannya mudah bagimu mengucapkan kata-kata
itu tanpa ragu karena sejak awal rasamu bukan rasa sungguhan.
“Kita realistis saja. Nggak berapa lama lagi kita sudah harus merasakan ini ratusan kali lipat lebih lama. Kita harus terbiasa hidup berdampingan dengan jarak. Kita harus terbiasa terpisahkan oleh waktu dan kesibukan-kesibukan lain yang lebih prioritas di dunia yang baru. Kita nggak akan bisa sering bertemu atau berbagi hal-hal nggak penting lagi.
Dengar.
Kamu akan kuliah, Say. Kita berdua akan kuliah.
Di kampus yang berbeda dan tentunya juga dengan kesibukan yang nggak sama. Kupikir nggak seharusnya kita saling ketergantungan satu sama lain. Jadi yang kemarin kemarin itu anggap saja kesalahanku.”
“Kita realistis saja. Nggak berapa lama lagi kita sudah harus merasakan ini ratusan kali lipat lebih lama. Kita harus terbiasa hidup berdampingan dengan jarak. Kita harus terbiasa terpisahkan oleh waktu dan kesibukan-kesibukan lain yang lebih prioritas di dunia yang baru. Kita nggak akan bisa sering bertemu atau berbagi hal-hal nggak penting lagi.
Dengar.
Kamu akan kuliah, Say. Kita berdua akan kuliah.
Di kampus yang berbeda dan tentunya juga dengan kesibukan yang nggak sama. Kupikir nggak seharusnya kita saling ketergantungan satu sama lain. Jadi yang kemarin kemarin itu anggap saja kesalahanku.”
Coba! Coba lihat kata-katanya! Apakah kalau kamu ada di
posisiku waktu itu, kamu akan tetap bisa menerima dengan hati yang lapang dan berbahagia?
Mar.. Mar. Yang ada di pikiranmu itu cuma kamu, kamu, dan kamu seorang.
Mar.. Mar. Yang ada di pikiranmu itu cuma kamu, kamu, dan kamu seorang.
Kamu nggak pernah bertanya padaku bagaimana baiknya agar kita sama-sama mengerti. Kamu nggak pernah meminta saran dan mendiskusikannya dulu denganku agar nggak ada yang harus disalahkan. Kenapa selalu memutuskan semuanya secara sepihak? Kamu pikir untuk apa aku ada?
“Sejujurnya, aku punya sedikit trauma perihal rasa merasa. Aku hanya takut untuk jatuh padamu terlalu dalam seperti yang sudah sudah. Makanya, kupikir lebih baik dicegah saja dari awal sebelum perasaan ini pergi semakin jauh.”
“Sejujurnya, aku punya sedikit trauma perihal rasa merasa. Aku hanya takut untuk jatuh padamu terlalu dalam seperti yang sudah sudah. Makanya, kupikir lebih baik dicegah saja dari awal sebelum perasaan ini pergi semakin jauh.”
Tapi ini sudah bukan awal lagi, Mar!
Kalau dari dulu kamu sudah tahu bahwa kamu nggak mampu merajut cerita lebih banyak, kenapa nggak sedari dulu kamu menyudahinya? Atau, kenapa nggak usah memulai apapun saja sekalian? Aku jadi geram dan terbawa emosi lagi padahal sudah lebih dari lama.
Kalau dari dulu kamu sudah tahu bahwa kamu nggak mampu merajut cerita lebih banyak, kenapa nggak sedari dulu kamu menyudahinya? Atau, kenapa nggak usah memulai apapun saja sekalian? Aku jadi geram dan terbawa emosi lagi padahal sudah lebih dari lama.
Dari kata-katamu, sebenarnya sudah
tersirat dengan jelas bahwa kamu nggak mengharapkan kelanjutan apapun dari cerita ini sama
sekali. Memang hanya aku sendiri yang sedari awal sudah bodoh dan berekspektasi
macam-macam. Kamu bahkan nggak peduli kan, apakah perasaanku sungguh atau tidak.
Kamu juga nggak peduli apakah bahagiamu karena aku atau bukan.
“Tapi begini, ya. Kamu nggak usah merasa terkekang dan tersiksa cuma gara-gara aku.
Seandainya nanti ada laki-laki lain yang memang bisa benar-benar bikin kamu nyaman, jangan jadikan aku sebagai alasan untuk kamu membohongi perasaanmu sendiri.
Biarkan alur hidup kita mengalir secara alami. Tanpa harus ada keterpaksaan, tanpa harus ada ketergantungan, tanpa harus ada beban yang dipikul.
Kamu tahu sendiri, kan? Kalau begini terus, suatu hari nanti aku bisa saja jadi bebanmu. Dan kamu tahu aku nggak suka jadi beban.
Hei, aku hanya ingin kita balik lagi seperti semula. Itu saja.
Kamu dengan kesibukan duniamu, aku dengan kesibukan duniaku.”
“Tapi begini, ya. Kamu nggak usah merasa terkekang dan tersiksa cuma gara-gara aku.
Seandainya nanti ada laki-laki lain yang memang bisa benar-benar bikin kamu nyaman, jangan jadikan aku sebagai alasan untuk kamu membohongi perasaanmu sendiri.
Biarkan alur hidup kita mengalir secara alami. Tanpa harus ada keterpaksaan, tanpa harus ada ketergantungan, tanpa harus ada beban yang dipikul.
Kamu tahu sendiri, kan? Kalau begini terus, suatu hari nanti aku bisa saja jadi bebanmu. Dan kamu tahu aku nggak suka jadi beban.
Hei, aku hanya ingin kita balik lagi seperti semula. Itu saja.
Kamu dengan kesibukan duniamu, aku dengan kesibukan duniaku.”
Dan... kupikir ini adalah akhir. Kupikir
selesai. Tamat sudah ceritaku dengan Mar sampai di sini. Kata-katanya sudah cocok untuk jadi kalimat penutup di akhir bab.
Air mataku berlinang dengan sendirinya setiap kali aku ingat lagi dialog kami di bulan Juni silam. Walaupun sudah nggak sesedih dulu, tapi kata-kata itu masih terasa nggak sopan terngiang di kepalaku. Jujur saja, saat itu aku nggak tahu harus bilang apa. Bahkan tokoh utamanya sendiri pun nggak pernah mengira kalau plot-nya akan jadi se-twist ini.
“Jadi maksudmu kita sudah nggak bisa sama lagi..?
Mar, dengar.
Kamu pikir berubah itu segampang membolak-balikkan telapak tangan?
Berubah mundur katamu? Sampai ke awal lagi? Jadi maksudmu aku harus kembali ke titik awal di mana semuanya belum dimulai dan berpura-pura seakan nggak pernah terjadi apa-apa? Kamu ingin kita pura-pura amnesia dan hidup tanpa perasaan? Kamu pikir aku apa? Siput laut?
Hei. Bagaimana kamu bisa berharap untuk memutar balikkan waktu ketika satu-satunya jalan adalah maju?
Aku nggak yakin bisa sebodo amat kamu, Mar. Aku nggak yakin bisa baik-baik saja dalam waktu singkat karena yang kuharapkan selama ini bukan sesuatu yang bercanda. Kalau memang maumu begitu, nggak bisakah kita berubah pelan-pelan saja? Sedikit demi sedikit. Setahap demi setahap. Rasanya terlalu kasar jika harus menyuruhku berhenti dan berpaling darimu saat ini juga.
Bukankah segala sesuatu pada hakikatnya punya proses yang nggak sama? Kamu nggak punya hak untuk melarang dan menyuruhku ini itu, Mar! Kamu siapa?!”
BEGITU!
Begitu seharusnya kujawab dia waktu itu. Seharusnya aku melawan. Seharusnya aku bilang 'nggak' saat hatiku menolak, bukannya 'iya iya' saja sama semua hal yang ia perintah layaknya seorang pesuruh pada rajanya.
Air mataku berlinang dengan sendirinya setiap kali aku ingat lagi dialog kami di bulan Juni silam. Walaupun sudah nggak sesedih dulu, tapi kata-kata itu masih terasa nggak sopan terngiang di kepalaku. Jujur saja, saat itu aku nggak tahu harus bilang apa. Bahkan tokoh utamanya sendiri pun nggak pernah mengira kalau plot-nya akan jadi se-twist ini.
“Jadi maksudmu kita sudah nggak bisa sama lagi..?
Mar, dengar.
Kamu pikir berubah itu segampang membolak-balikkan telapak tangan?
Berubah mundur katamu? Sampai ke awal lagi? Jadi maksudmu aku harus kembali ke titik awal di mana semuanya belum dimulai dan berpura-pura seakan nggak pernah terjadi apa-apa? Kamu ingin kita pura-pura amnesia dan hidup tanpa perasaan? Kamu pikir aku apa? Siput laut?
Hei. Bagaimana kamu bisa berharap untuk memutar balikkan waktu ketika satu-satunya jalan adalah maju?
Aku nggak yakin bisa sebodo amat kamu, Mar. Aku nggak yakin bisa baik-baik saja dalam waktu singkat karena yang kuharapkan selama ini bukan sesuatu yang bercanda. Kalau memang maumu begitu, nggak bisakah kita berubah pelan-pelan saja? Sedikit demi sedikit. Setahap demi setahap. Rasanya terlalu kasar jika harus menyuruhku berhenti dan berpaling darimu saat ini juga.
Bukankah segala sesuatu pada hakikatnya punya proses yang nggak sama? Kamu nggak punya hak untuk melarang dan menyuruhku ini itu, Mar! Kamu siapa?!”
BEGITU!
Begitu seharusnya kujawab dia waktu itu. Seharusnya aku melawan. Seharusnya aku bilang 'nggak' saat hatiku menolak, bukannya 'iya iya' saja sama semua hal yang ia perintah layaknya seorang pesuruh pada rajanya.
Ah!
“Aku tahu ini sulit buatmu. Asal kamu tahu, bagiku juga sama pada awalnya.
Tapi aku tahu kamu sebenarnya bukan tipikal orang yang lemah, Say. Aku tahu kamu pasti bisa melewati masa transisi ini dan mengubah perspektifmu pada akhirnya. Karena ya, mau bagaimana lagi?
Mumpung belum terlanjur jauh, mumpung masih nggak terlalu susah, lebih baik kita mulai saja gladi berpisahnya sedari sekarang.”
Analoginya begini.
Ketika kamu sudah terlalu nasionalis lalu terpaksa pindah ke luar negeri, apa yang akan kamu rasakan? Satu hari di sana pasti akan terasa seperti selamanya, kan? Semakin hari akan terasa seperti kutukan karena kamu malah akan jadi semakin rindu dan semakin ingin kembali ke tanah airmu.
Berbeda jika sejak awal kamu sudah nggak terlalu nasionalis. Kamu tetap cinta negaramu, tapi tetap bisa fleksibel kalau mesti tinggal di luar negeri. Mungkin pada awalnya memang akan bertemu yang namanya culture shock. Namun hari demi hari, bulan demi bulan, semua siklus hidup yang baru itu akan jadi sebuah kebiasaan baru yang kita sebut adaptasi. Walau begitu, kamu tetap mencintai negerimu, kan?
That's it. Because in reality, here we are.
Mampu beradaptasi dengan negeri baru, bukan berarti kecintaan terhadap negerimu berkurang, kan?
U got my point?”
“Aku tahu ini sulit buatmu. Asal kamu tahu, bagiku juga sama pada awalnya.
Tapi aku tahu kamu sebenarnya bukan tipikal orang yang lemah, Say. Aku tahu kamu pasti bisa melewati masa transisi ini dan mengubah perspektifmu pada akhirnya. Karena ya, mau bagaimana lagi?
Mumpung belum terlanjur jauh, mumpung masih nggak terlalu susah, lebih baik kita mulai saja gladi berpisahnya sedari sekarang.”
Analoginya begini.
Ketika kamu sudah terlalu nasionalis lalu terpaksa pindah ke luar negeri, apa yang akan kamu rasakan? Satu hari di sana pasti akan terasa seperti selamanya, kan? Semakin hari akan terasa seperti kutukan karena kamu malah akan jadi semakin rindu dan semakin ingin kembali ke tanah airmu.
Berbeda jika sejak awal kamu sudah nggak terlalu nasionalis. Kamu tetap cinta negaramu, tapi tetap bisa fleksibel kalau mesti tinggal di luar negeri. Mungkin pada awalnya memang akan bertemu yang namanya culture shock. Namun hari demi hari, bulan demi bulan, semua siklus hidup yang baru itu akan jadi sebuah kebiasaan baru yang kita sebut adaptasi. Walau begitu, kamu tetap mencintai negerimu, kan?
That's it. Because in reality, here we are.
Mampu beradaptasi dengan negeri baru, bukan berarti kecintaan terhadap negerimu berkurang, kan?
U got my point?”
Ya.
:)
Analogi yang bagus, Mar. Lidahmu seperti mata pedang yang menghunusku langsung ke tengah-tengah jantung. Itulah kenapa aku nggak bisa melawan lagi, karena sesuatu yang logis memang sulit dibantah oleh alasan subjektif yang menyangkut soal perasaan.
Pada
akhirnya, lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, aku mengangguk dan setuju dengan
kesepakatan baru yang sebenarnya kamu buat sendiri. Kita nggak mendiskusikannya
bareng-bareng, kan? Selama ini kamu lah yang selalu memutuskan semuanya seorang
diri. Selama ini kamu lah yang jelas-jelas nggak mementingkan soal keberadaanku sama sekali.
Selama
ini kita ternyata bukan saling, tapi masing.
Sampai
sini kita tahu, bahwa sejak awal Mar memang nggak pernah berniat untuk sungguh-sungguh
menetap.
Bahwa
sejak awal, dia memang sengaja mampir..
..
untuk bisa pergi lagi kapan-kapan.
---
Kukira
sudah terlalu panjang episode ini kutulis. Padahal, aku baru bercerita sampai perihal
1 Juni saja. Masih ada 29 hari lain yang belum tersebut dan belum terevaluasi. Itu
artinya, episode kali ini akan bersambung.
Kalau
begitu, sampai bertemu lagi di Perihal Juni (Part 2).
Kamu
nggak berpikir cerita ini akan tamat sekarang, bukan?[]
-----------------------------------------------
In case you missed it:
#1 Tentang Maret
#2 Soal April
#3 Cerita Mei
-----------------------------------------------
In case you missed it:
#1 Tentang Maret
#2 Soal April
#3 Cerita Mei
Parah sih setiap kalimatnya tuh bikin kita kebawa suasana. Kesel, sedih, tapi kalau dipikir lagi, logikanya bener banget
ReplyDeleteAw, thanks!
DeleteKeren banget saybah🥰🥰
ReplyDeleteTerima kasih banyak🖤
DeleteWiii bagus bgt!🥺
ReplyDeleteHuhu makasih🥺🖤
DeleteBahasanya keren banget sih, aku aja yg suka nulis masih belibetan wkwk.
ReplyDeleteMakasii ayo nulis terus!
DeleteBetah bacanya
ReplyDeleteWow jadi betah nulis lagi :)
DeleteGila sih bagus bgt ini
ReplyDeleteTerima kasih sayang
DeleteSelalu keren😍
ReplyDeleteSelalu makasih bgt ya🖤
DeleteIh parah sih ini qreenn abis, anteng banget bacanya.. tar kalo udah banyak tulisanmu jangan lupa dibikin buku yak buk aku pasti beli 100%!!!
ReplyDeleteAAMIIN BANGET 😭😭😭 WAJIB YAAAA
DeleteAlways support this girlll
ReplyDeleteAlways thankful this boyyy
DeleteSegera terbit ❤️🔥
ReplyDeleteAAMIIN🖤🖤🖤
Delete😢😢😢😢😢
ReplyDeleteCup cup sayang
Delete