Skip to main content

—Perihal Juni. [Eps. 4]




We're getting more and more complicated.
There are too many things I wanna tell and ask.
About you, about us.
About the June..."



---------------------------------------------------------------
"Kamu dan Juni ada kerjasama apa, Mar?”

“Apa maksudmu kerjasama?”

“Ya, kerjasama. Habisnya kalian sama banget, sih.
Sama jahatnya. Sama sadisnya. Sama plot twist-nya."

"Apa, sih. Nggak usah overthinking kamu. Nanti cepat mati."
       
    -P e r i h a l   J u n i .





[ P R O L O G ]



Hai, terima kasih sudah mau meluangkan waktumu untuk mampir lagi. Bulan Juni masih baik mau mempertemukan kita lagi di sini meskipun entah kita sama-sama menganggap ini sebagai sebuah pertemuan atau ternyata cuma aku sendiri yang berpikir seperti itu. Gapapa. Nggak selamanya sudut pandang kita harus selalu sama, kan?

Ini adalah sekuel keempat dari serangkaian cerita paling rumit yang nggak berjudul. Episode kali ini mungkin akan sedikit berat—dan lebih panjang—dari episode-episode sebelumnya karena aku akan menuangkan banyak pikiran dan perasaan yang selama ini menjadi pemicu lahirnya semua sekuel yang kubuat. Kalau suatu saat kamu bertanya padaku tentang genre-nya, jujur saja kadang aku juga masih bingung harus menjawab apa, hehe. Pasalnya, cerita ini bisa aja jadi drama romantis picisan di paragraf awal lalu mendadak berubah jadi thriller psikopat di paragraf setelahnya, serius! Kalau nggak percaya, ya baca aja.

Kamu mungkin nggak begitu menyadarinya tapi sebenarnya cerita ini berlumuran banyak darah dan air mata meskipun nggak benar-benar harus kurincikan secara langsung. Tapi di sisi lain, ada juga bagian-bagian menyenangkan dan makna hidup yang bisa kita jadikan pelajaran supaya nggak lagi jadi manusia bodoh untuk kesekian kalinya. Manusia polos yang naif dan bodoh.

Oh, ya. Bicara soal polos, apakah menurutmu kedewasaan seseorang bisa diukur dari itu? Semakin banyak pengalaman yang didapat, artinya kepolosan seseorang akan berkurang. Semakin nggak berpengalaman, maka otomatis akan jadi semakin polos dan naif. Bukankah begitu cara kerjanya? Atau nggak begitu?

Kalau aku sendiri sih, merasa belum dewasa karena masih suka plin-plan dan berubah-ubah, padahal tahun depan sudah mau kepala dua. Waktu benar-benar cepat berlalu, ya..? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memangnya orang dewasa juga nggak begitu? Suka berubah. Segala hal pada dasarnya memang mudah berubah, kukira. Ingat pelajaran IPA waktu SD, kan? Tentang membeku, tentang menyublim, tentang mencair dan mengembun. Kupikir, benda mati saja bisa berubah dengan cepat seperti itu, apalagi hati, cita-cita, dan logika? Semua hal bisa berubah pada akhirnya.

Termasuk aku, termasuk Mar, termasuk apa apa yang menyangkut semua perihal kita.


Tidak tahu apakah aku harus berterima kasih atau mencaci maki di bulan keenam ini, tapi yang jelas karena Juni, aku jadi tahu kalau perubahan hati manusia itu nggak mengenal yang namanya waktu.  Karena Juni pula, aku akhirnya sadar bahwa pada dasarnya Mar memang nggak diciptakan untuk menjadi satu-satunya tempat pulang.
Mar bukan rumah dan aku juga bukan penghuninya.

Secara nggak langsung, sebenarnya waktu itu Juni sedang berusaha menasihatiku melalui setiap ruas perih yang disuguhkannya.

Setiap gores luka mengandung makna, setiap tetes air matamu pasti ada pelajarannya, Sayang.

Tapi bodohnya aku malah tutup telinga! Aku selalu tutup telingaku rapat-rapat setiap Juni hendak mulai bicara. Dan ternyata di situlah letak kesalahanku selama ini. Karena sejak awal nggak mau mengerti, aku jadi nggak akan pernah bisa benar-benar mengerti apapun pada akhirnya. Aku sama sekali clueless dengan apa yang sebenarnya semesta rencanakan untukku waktu itu. Aku nggak dapet poinnya, aku nggak bisa meraba akan kemana ujungnya, aku bahkan sempat jadi gila karena aku benar-benar nggak ngerti lagi sama pola pikirnya. Juni.. oh, sial.

Dan konyolnya adalah, kenapa baru sadar semuanya sekarang?

"Penyesalan memang selalu datang di akhir," seseorang pernah bilang begitu.

Lagian siapa juga yang menyesal? Sudahlah, penyesalan itu nggak ada gunanya. Nggak peduli apakah dia mau ada di awal atau di akhir.

Mungkin memang sudah terlambat, mungkin memang sudah nggak ada gunanya lagi untuk baru bisa mengerti semuanya setelah dua belas bulan terlewati. Logikanya mungkin begitu, ya. Tapi, pernah kepikiran nggak, sih? Bahwa seenggaknya perasaan kita bisa jadi lebih lega setelah akhirnya tahu letak salahnya di mana dan menemukan solusi seharusnya bagaimana. Meskipun sudah lewat.

Itu. Itu persis dengan apa yang kurasakan saat aku menulis kalimat ini sekarang.

Ternyata, setelah dipaksa untuk mengingat-ingat kembali, semuanya memang masuk akal sedari awal. Logis logis aja, nggak ada masalah. Kalau dilihat dari sudut pandang logika, keputusan Mar emang udah paling bijak untuk lebih memilih pergi pada akhirnya. Tapi kalau dari sisi perasaan, menurutku dia udah nggak ada bedanya sama Red Velvet. Psycho.

Juni hanya ingin aku jadi perempuan kuat, bukan yang lemah. Perempuan yang bisa berpikir cerdas, bukan yang bisa diperbudak. Juni ingin aku jadi versi diriku yang lebih baik, jadi dia mengirimkan Mar dalam bentuk luka supaya aku lebih berhati-hati lagi ketika suka.


--P e r i h a l  J u n i. 


Sekian prolog episode kali ini. Selamat membaca dan mengevaluasi diri, semoga nggak mengulang cerita yang rusak dua kali.

---



Ini semua gara-gara Mei!

Sejak awal, aku sudah tahu bahwa semuanya memang berawal dari Mei. Mei yang manis, Mei yang lugu, Mei yang kusayang-sayang pada masanya. Perihal Juni nggak akan pernah lahir ke dunia andai Cerita Mei nggak pernah tertulis dalam susunan takdir.

Kamu tahu?

Cerita Mei pada akhirnya harus menghantarkanku ke belahan lain Pulau Jawa; Jember. Sebuah kota pesisir pantai, teramat jauh dari suasana kota kembang dan segala isinya yang selalu menghanyutkanku pada memori-memori lama. Bulan Juni di mulai di sana, begitu pula dengan segala hal yang ada di dalamnya.

Saat itu adalah pertama kalinya aku nggak benar-benar bisa menikmati liburanku sendiri. Rasanya seperti ada yang mengganjal di dalam sini, seakan-akan jiwaku nggak benar-benar menyatu dengan raganya atau apalah. Ini sama sekali nggak semudah yang aku kira pada awalnya. Nggak mudah karena mau nggak mau aku harus meninggalkan jejak cerita dengan Mar yang sebenarnya masih ingin kunikmati lembar demi lembarnya lebih lama tapi harus terpaksa kubuat bersambung seperti iklan kopi. Nggak mudah karena saat itu nggak hanya beban dalam ransel dan koper saja yang kuseret, tapi juga pikiran dan perasaan campur aduk yang nggak sengaja terbawa sampai kemari.

Jelas sama sekali nggak mudah karena di sana nggak ada Mar. Intinya kan itu.

Berat sekali rasanya harus bertahan berminggu-minggu sambil terpaksa berkawan dengan jarak dan waktu yang sekalinya menyiksa sudah seperti psikopat di series, sadis dan berdarah-darah. Bahkan, segala hal yang seharusnya mudah saat itu pun jadi terasa sepuluh kali lebih rumit dan kamu tahu? Itu sama sekali nggak berefek bagus baik untuk kesehatan fisik, mental, maupun kewarasanku. Liburan sih iya liburan, tapi kalau feel and mind-nya kosong mau refreshing di bagian mananya?

Well, aku nggak tahu apakah itu adalah sesuatu hal yang wajar ketika kamu sedang berada jauh dari seseorang yang sangat ingin kamu temui tapi sekarang aku sadar bahwa selama ini Mei benar-benar sudah menjadikanku perempuan paling buta, tuli, bisu, dan juga lemah yang pernah ada. Bisa dibilang, it was the worst ever version of me. Mungkin aku memang dapat Mar, tapi secara nggak sadar aku juga kehilangan semuanya pada saat yang bersamaan. Aku kehilangan kekuatanku, aku kehilangan logikaku, aku kehilangan kebahagiaan sederhanaku beserta semua perintilannya, dan paling parahnya lagi adalah: Aku kehilangan diriku sendiri.

Aku menemukan Mar.. tapi aku kehilangan aku.
Perasaan yang semula kukira menyembuhkan, nyatanya malah membunuhku perlahan.

Ya, benar. Kusangka selama ini aku sudah mencoba bunuh diri berulang kali tanpa mati. Semua kecemasan itu membunuhku, semua ekspektasi yang ada itu membunuhku. Aku baru sadar bahwa dengan Mar, aku hanya akan terus terbunuh, terbunuh, dan terbunuh dengan lebih kejam lagi setiap harinya.


"Sesuatu yang menyakitkan pada dasarnya memang nggak perlu dipertahankan. Perihal Juni, seharusnya sudah kulepaskan saja dia sedari awal."


---



Kepergian Mei sudah banyak menguras air mataku waktu itu. Entah sudah berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia dengan menenggelamkan diri dalam lautan kecemasan yang sebenarnya kuciptakan sendiri. Sepertinya, nggak ada istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaaan itu selain overthinking.

Ah, mau bagaimana pun transisi Mei ke Juni memang yang terburuk dalam jangka waktu setahun terakhir. Kamu pernah dengar istilah 'adaptasi'? Mar yang mengenalkannya padaku dulu. Mirip seperti adaptasi ekologi hewan, namun ini versi lebih dibuat-buatnya. Dia bilang aku harus pandai beradaptasi supaya masih bisa hidup senang jika suatu hari nanti kami dipisahkan oleh jarak dan waktu. Kenapa mesti susah susah pakai istilah adaptasi segala, sih? Padahal tinggal bilang saja langsung, kalau mau nggak mau aku sudah harus siap kapanpun akan dicampakkan olehnya. Bukankah begitu maksud tersiratnya, Mar?

Akhir Mei dan permulaan Juni benar-benar sudah membuatku hampir gila. Menangis sudah jadi kegiatan rutin 24/7-ku hanya karena perdebatan yang nggak berujung dengan pikiran dan perasaanku sendiri.

Di mana Juni menyembunyikan kewarasanku? Entah.

Tapi justru menangis nggak menjadi pelarian yang bagus karena nggak membuatku merasa jadi lebih baik atau apa. Sesaknya masih sama saja, bebannya sama sekali nggak berkurang. Menangis cuma membuatku kesal karena kalimat ini selalu saja terlintas di kepala,

Apakah air mata ini terbuang sia-sia atau justru memang sudah sepantasnya begini?
Apakah hal yang sedang kutangisi saat ini adalah sesuatu yang memang seharusnya benar-benar kutangisi dengan sungguh-sungguh?

Lagipula, akhir Mei dan awal Juni memang sudah cukup cari gara-gara di umur ketujuh belasku yang rapuh. Waktu itu, tanggal 31 Mei setahun yang lalu, aku dilarikan ke UGD gara-gara kecelakaan bodoh yang kusebabkan sendiri: Mataku tertusuk kuku jariku sendiri yang lagi berlumuran sabun di kamar mandi, dan aku nggak bisa melihat dengan jelas sampai beberapa hari. Untung cuma abrasi kornea mata katanya, tapi ya mungkin parah(?) makanya sampai harus langsung ditransfer ke rumah sakit besar karena puskesmas bilang sudah nggak bisa. Konyol memang, terkadang ada-ada saja semesta merancang skenarionya.

Sempat terlintas dalam benak,

"Bagaimana jika setelah hari itu, aku benar-benar ditakdirkan untuk nggak bisa melihat dunia lagi dengan mata kepalaku sendiri?"

Ah, mengerikan. Mungkin ceritanya juga akan lain, kan.

Satu hal yang masih terpikirkan olehku di masa sekarang adalah,
"Secemas itukah aku pada Mar dan segala perasaannya sampai aku nggak bisa berkonsentrasi dengan segala hal yang sedang kulakukan?" 

Sampai nggak bisa mengurusi diriku sendiri, sampai nggak ingat dengan duniaku sendiri.. Ah, andaikan waktu itu sudah jauh lebih mengerti, aku nggak perlu pusing pusing dikendalikan sama berbagai kekhawatiran dan ekspektasi semuku itu.

Terbukti nyatanya benar,

bahwa kecemasan dan harapan yang berlebihan hanya akan mencelakakan kita pada akhirnya.



---




Belum apa-apa, Juni sudah menyambutku dengan banyak goresan luka. Entah itu di mata, entah itu di hati. Rasanya kasar sekali melihat caranya memperlakukan gadis naif yang sedang dibutakan oleh perasaan fana sepertiku, padahal baru juga pertama kali bertemu. Memang ggak ada sopan-sopannya sama sekali bulan ini.

Juni.

Juni, ya.

Dia yang paling banyak menguras emosi dan paling menyulitkan dalam kepingan memoriku yang tersisa. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku nggak terlalu seneng ngomongin dia. Juni itu nggak sebaik April dan nggak semanis Mei. Juni itu ngeselin parah. Dia suka menciptakan kepribadian ganda yang aku sendiri aja kadang nggak sadar kalau ternyata hati dan pikiranku lagi seenaknya diubah-ubah sama dia. Misal, jika hari ini Juni sudah menerbangkanku tinggi sampai menembus eksosfer, beberapa jam setelahnya dia bisa saja langsung menenggelamkanku ke dasar Palung Mariana yang paling dalam, paling gelap, dan nggak berujung.

Sudah gila. Juni memang sudah gila.

Sejak kedatangan Juni, aku sudah nggak lagi berpikir jika Mar masih sama. Mungkin secara fisik memang nggak ada yang berubah, tapi nggak dengan hatinya. Pola pikirnya berubah. Caranya memandang kami yang berubah. Keyakinannya, kemungkinan-kemungkinannya, hingga perasaannya untukku juga sudah nggak terasa sama lagi.

Well, something must be wrong, right?

Entah salah di bagian mananya, aku hanya nggak tahu harus bagaimana waktu itu.

Aku nggak tahu harus bagaimana karena Juni sudah memutar balikkan Mar seratus delapan puluh derajat hanya dalam waktu nggak sampai sehari. NGGAK SAMPAI SEHARI. Aku hanya terlalu terkejut dengan perubahannya yang terlalu cepat dan nggak jelas. Bagiku durasi perubahan sikap, rasa, dan logikanya itu benar-benar udah kelewat nalar. Bahkan kapur barus saja butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menyublim sampai jadi gas, kan?

Aku cuma bingung. Aku cuma nggak terbiasa dihadapkan dengan perubahan situasi yang mendadak dan aku juga nggak bisa kalau tiba-tiba harus acuh seakan-akan hari-hari lalu kita nggak pernah tercipta dalam lembar cerita.

Kamu unik, Mar.

Kamu unik karena kamu sudah menyuguhkan rasa baru dalam sejarah kehidupanku. Rasa bingung, cemas, takut, sedih, dan kecewa teramat dalam yang bercampur jadi satu. Sebuah rasa yang selama ini nggak pernah kutahu bagaimana sengsaranya, dan kamu tanpa permisi memaksaku untuk menelan semuanya bulat-bulat dalam waktu satu malam saja.

Benar.

Kamu memang unik, Mar.
Tapi sayang, terkadang kamu lupa bagaimana caranya beretika.  

Kamu pikir kamu bisa mengendalikanku?

Kamu pikir aku akan langsung melupakan semuanya dan baik-baik saja dengan itu?

Kamu pikir hanya dengan waktu satu malam, kita bisa sama-sama terlahir kembali menjadi dua manusia berbeda yang nggak pernah punya riwayat hidup yang sama?

Mar, aku minta maaf tapi caramu kelewat egois.

Kamu mungkin merasa bahwa tindakanmu waktu itu sudah paling benar. Kamu bisa menjelaskan padaku semua alasan A-Z yang logis dan nggak terbantahkan hanya bermodalkan pikiran dan logika yang kamu punya.

Ya, memang.

Aku mengakui bahwa secara logika, kamu nggak salah sama sekali dengan mengutarakan semua pendapatmu mengenai kita. Aku salut sama kemandirianmu, kagum betapa bijaknya bicaramu, juga sempat tersihir oleh pola pikir kritismu yang realistis dan futuristik menurut sangkamu sendiri. Tapi ada hal-hal penting yang terlewat, Mar.

Kamu lupa.

Kamu lupa bahwa dalam cerita ini nggak hanya hidup dirimu seorang.

Kamu lupa bahwa dalam permainan hati ini, nggak hanya ada perasaanmu yang menjadi peran.

Kamu lupa bahwa jika salah satu tokoh utamanya hilang, cepat atau lambat ceritanya juga akan usai.

Mar, dengar.

Kamu sudah lupa mempertimbangkan perasaanku. Kamu lupa nggak merundingkan semua perubahan dan perpisahan ini dulu denganku.

Mar, kamu lupa aku.


---





Kabar buruk serta rasa sakit nggak berhenti berdatangan seperti ombak yang kulihat di pantai waktu itu. Datang lalu surut lagi. Datang lagi lebih besar, lalu pergi sembari mengikis mentalku sedikit demi sedikit. Rasanya saat itu perasaanku sudah nggak jauh berbeda dengan hamparan pasir lemah dengan serpihan cangkang kerang di pesisir pantai.

Mudah terkikis, rentan tertiup angin.

Masih di hari yang sama, kamu jadi orang pertama yang tahu bahwa nilai ujian masuk universitas gelombang keduaku jauh dari yang kita harapkan sebelumnya. Tadinya kupikir kita akan tetap bersaing sehat seperti bulan-bulan sebelumnya, tapi ternyata kali ini aku harus kalah banyak. Selamat ya, Mar. Semesta bilang kali ini kamu yang menang.

Udah, nggak apa-apa, yang penting kan udah berusaha.

Begitu reaksi Mar mendengar bunyi angka yang keluar untuk skor ujianku. Bosan kan, dengarnya? Kalau kita sedang gagal, orang lain pasti berusaha menghibur dengan kalimat semodel itu. Semuanya sama saja. Kalau sudah begini, rasanya semua orang jadi satu template. Mereka seenaknya bilang begitu karena mereka nggak tahu bagaimana rasanya di posisisi kita, kan? Kalau sudah begini, rasanya semua jadi serba salah.

But overall, terima kasih buat Mar. Aku tahu dia nggak akan pernah baca ini tapi jika suatu saat satu dari kamu nggak sengaja bertemu dengannya tolong sampaikan terima kasih ini. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan tangisanku yang nggak guna di siang hari yang cerah itu. Terima kasih karena sudah mau diganggu dan dibuat kesal dengan segala tingkah laku kekanak-kanakan yang kadang emang nggak dipikir dulu. Sebenarnya aku hanya mencoba berbagai cara yang tadinya kupikir bisa meredam semua rasa cemas yang ada, tapi nyatanya nggak ada yang berhasil.

Pada kenyataannya, nggak ada yang benar-benar bisa membuatku merasa lebih baik, Mar. Bahkan kamu sekalipun.

Kamu sudah berusaha yang terbaik untuk jadi obat penenangku yang paling manjur. Kamu sudah berusaha untuk tetap jadi sosok Mar yang kukenal tapi entah kenapa di beberapa sisi, aku merasa auramu sudah nggak sehangat dulu lagi. Aku nggak tahu apakah hanya pikiranku saja yang menyelam terlalu dalam di lautan overthinking-nya, atau memang pada dasarnya kamu benar-benar sudah nggak lagi sama tanpa kamu sadari. Karena mau bagaimanapun kamu menyangkal, rasamu memang sudah berbeda sejak awal kedatanganku di kota ini. Bohong kalau kamu tetap bilang tidak ada apa-apa dan semuanya baik-baik saja.

Memangnya kamu pikir otakku ini cuma pajangan?

Butuh waktu berhari-hari hingga akhirnya aku berani untuk mengutarakan semuanya padamu di tanggal satu.

Perihal rasa sakit yang kamu tancapkan padaku setiap hari, perihal kesedihan yang mengalir paksa dari mata, mulut, dan telingaku yang saling tersumbat, semua keresahan, segala kerisauan, segenap ketakutan. Asal kamu tahu, Mar, sulit sekali rasanya harus memendam semua mimpi buruk itu sendirian selama ini.

Dan aku masih ingat reaksi pertamamu hari itu.

"Ah, mungkin cuma perasaanmu saja. Apa kamu nggak berpikir kamu terlalu nethink? Aku nggak merasa ada yang berubah, kok. Rasanya nggak ada yang berbeda sama sekali dariku apakah itu kemarin, hari ini, atau lusa.

Nggak. Bagiku pernyataan dan kenyataan nggak sesuai. Kamu nggak sama dengan kamu yang kemarin, Mar."

Sebelah mananya yang nggak sama, sih?!

Semuanya! Apa harus kusebutkan semua detilnya satu per satu? Bagian mana yang berubah, aku sudah cukup teliti selama ini. Kamu nggak bisa berbohong padaku atau dirimu sendiri, Mar. Nggak sepertimu yang cuma mengutamakan logika, aku lebih banyak menilaimu dari hati. Karena itu tolong jawab pertanyaanku, 

kenapa memperlakukanku seperti ini?”

Hari itu.. rasanya aku mau menangis lebih banyak.

Mungkin akan lebih seru jadinya jika kami benar-benar berseteru secara empat mata seperti adegan dalam drama, tapi itu nggak akan pernah terjadi. Aku nggak suka orang yang bertele-tele dan mencari pembenaran kesana kemari untuk menyembunyikan perasaannya sendiri. Aku selalu bertanya-tanya selama ini..

Apa sulitnya, sih, jujur pada dirimu sendiri? Sesulit itu juga ya, jujur pada orang lain?

Mengapa terkadang manusia nggak bisa saling jujur dan mengerti satu sama lain?

---




Hai. Ini aku. Aku kembali lagi setelah 12 bulan berhasil hidup tanpa membawa-bawa bahasan tentang ini lagi. Aku kembali menyelami ingatan-ingatan lama yang nggak menyenangkan itu lagi setelah satu tahun berganti hari demi hari. 

Aku kembali bukan untuk mengenang, bukan juga untuk menyesal apalagi berharap untuk kembali. Tapi untuk belajar lebih menghargai, belajar lebih bersyukur, belajar lebih mandiri dan belajar untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama dua kali.

Sebagai konklusi, ternyata sedari awal visiku dan visi Mar sudah nggak sama. Aku maunya ke kanan, dia inginnya ke kiri. Masih ingat kata-kataku di Soal April, kan? Tentang kesadaranku akan perbedaan yang jika dipaksakan hanya akan saling menghancurkan.

April benar soal segalanya. Aku yang salah karena sudah menganggapnya sebagai lelucon sampah yang nggak penting untuk didengar. Sekarang aku sadar betapa keras kepalanya aku selama ini. Betapa aku nggak mudah untuk meyakini sesuatu sebelum terjun dan mencicipinya sendiri. Betapa rasanya aku nggak mudah untuk berhenti sebelum terjerembab dan kena batunya sendiri. Dan Mar adalah batuku. Batu paling tajam yang pernah singgah ke pekaranganku dengan memanipulasi rupanya di antara bunga-bunga.

Aku sudah paham sekarang bahwa sejak awal, Mar memang nggak berniat denganku. Perasaannya selama ini belum sepenuhnya nyata.

Kalau dipikir-pikir lagi, dia memang nggak pernah minta untuk jadi prioritas juga. Dia nggak pernah sekalipun minta untuk jadi satu-satunya orang yang harus kupikirkan di masa sekarang ataupun yang akan datang. Seharusnya aku sudah sadar dari lama. Seharusnya aku sadar bahwa sejak awal Mar memang nggak pernah menjanjikan apapun padaku. Dia cuma sekadar nyaman dengan segala perhatian dan curahan ketulusan yang aku beri secara cuma cuma tanpa mau balas terlibat dengan perasaannya sendiri lebih jauh.

Betapa egoisnya. Sepertinya dia memang sudah paling cocok ya, jadi tokoh antagonis di dalam cerita ini.

Selama ini kita saling mendayung di satu perahu yang sama tanpa menyadari jika arah muara kita sebenarnya berbeda.
Keegoisan nggak akan pernah menjadikan kita satu tujuan.
Jika bukan salah satunya yang harus mengalah, maka salah satunya lah yang harus rela melompat keluar dari perahu dan tercebur ke laut.

Jika menyatukan visi saja sudah nggak bisa, maka satu satunya jalan cuma berpisah.



"Kalau kamu pikir aku berubah, mungkin maksudmu adalah ini.

Memang benar kalau pada dasarnya manusia itu munafik, idealisme seseorang bisa berubah kapan saja. Nggak menutup kemungkinan itu akan terjadi padamu atau padaku. Bukan hal yang mustahil jika itu terjadi sekarang atau lusa, dan kamu harus tahu itu.

Mar.. Kata-katamu bagus sekali. Aku sampai lupa bahwa salah satu hal kesukaanmu adalah berdebat. Kelihatannya mudah bagimu mengucapkan kata-kata itu tanpa ragu karena sejak awal rasamu bukan rasa sungguhan.

Kita realistis saja. Nggak berapa lama lagi kita sudah harus merasakan ini ratusan kali lipat lebih lama. Kita harus terbiasa hidup berdampingan dengan jarak. Kita harus terbiasa terpisahkan oleh waktu dan kesibukan-kesibukan lain yang lebih prioritas di dunia yang baru. Kita nggak akan bisa sering bertemu atau berbagi hal-hal nggak penting lagi.

Dengar. 

Kamu akan kuliah, Say. Kita berdua akan kuliah. 

Di kampus yang berbeda dan tentunya juga dengan kesibukan yang nggak sama. Kupikir nggak seharusnya kita saling ketergantungan satu sama lain. Jadi yang kemarin kemarin itu anggap saja kesalahanku.”

Coba! Coba lihat kata-katanya! Apakah kalau kamu ada di posisiku waktu itu, kamu akan tetap bisa menerima dengan hati yang lapang dan berbahagia? 

Mar.. Mar. Yang ada di pikiranmu itu cuma kamu, kamu, dan kamu seorang.
Kamu nggak pernah bertanya padaku bagaimana baiknya agar kita sama-sama mengerti. Kamu nggak pernah meminta saran dan mendiskusikannya dulu denganku agar nggak ada yang harus disalahkan. Kenapa selalu memutuskan semuanya secara sepihak? Kamu pikir untuk apa aku ada?

“Sejujurnya, aku punya sedikit trauma perihal rasa merasa. Aku hanya takut untuk jatuh padamu terlalu dalam seperti yang sudah sudah. Makanya, kupikir lebih baik dicegah saja dari awal sebelum perasaan ini pergi semakin jauh.”


Tapi ini sudah bukan awal lagi, Mar!

Kalau dari dulu kamu sudah tahu bahwa kamu nggak mampu merajut cerita lebih banyak, kenapa nggak sedari dulu kamu menyudahinya? Atau, kenapa nggak usah memulai apapun saja sekalian? Aku jadi geram dan terbawa emosi lagi padahal sudah lebih dari lama.

Dari kata-katamu, sebenarnya sudah tersirat dengan jelas bahwa kamu nggak mengharapkan kelanjutan apapun dari cerita ini sama sekali. Memang hanya aku sendiri yang sedari awal sudah bodoh dan berekspektasi macam-macam. Kamu bahkan nggak peduli kan, apakah perasaanku sungguh atau tidak. Kamu juga nggak peduli apakah bahagiamu karena aku atau bukan.

“Tapi begini, ya. Kamu nggak usah merasa terkekang dan tersiksa cuma gara-gara aku.

Seandainya nanti ada laki-laki lain yang memang bisa benar-benar bikin kamu nyaman, jangan jadikan aku sebagai alasan untuk kamu membohongi perasaanmu sendiri.

Biarkan alur hidup kita mengalir secara alami. Tanpa harus ada keterpaksaan, tanpa harus ada ketergantungan, tanpa harus ada beban yang dipikul.

Kamu tahu sendiri, kan? Kalau begini terus, suatu hari nanti aku bisa saja jadi bebanmu. Dan kamu tahu aku nggak suka jadi beban.

Hei, aku hanya ingin kita balik lagi seperti semula. Itu saja.
Kamu dengan kesibukan duniamu, aku dengan kesibukan duniaku.”

Dan... kupikir ini adalah akhir. Kupikir selesai. Tamat sudah ceritaku dengan Mar sampai di sini. Kata-katanya sudah cocok untuk jadi kalimat penutup di akhir bab.

Air mataku berlinang dengan sendirinya setiap kali aku ingat lagi dialog kami di bulan Juni silam. Walaupun sudah nggak sesedih dulu, tapi kata-kata itu masih terasa nggak sopan terngiang di kepalaku. Jujur saja, saat itu aku nggak tahu harus bilang apa. Bahkan tokoh utamanya sendiri pun nggak pernah mengira kalau plot-nya akan jadi se-twist ini.

Jadi maksudmu kita sudah nggak bisa sama lagi..?

Mar, dengar. 

Kamu pikir berubah itu segampang membolak-balikkan telapak tangan?  

Berubah mundur katamu? Sampai ke awal lagi? Jadi maksudmu aku harus kembali ke titik awal di mana semuanya belum dimulai dan berpura-pura seakan nggak pernah terjadi apa-apa? Kamu ingin kita pura-pura amnesia dan hidup tanpa perasaan? Kamu pikir aku apa? Siput laut?

Hei. Bagaimana kamu bisa berharap untuk memutar balikkan waktu ketika satu-satunya jalan adalah maju?

Aku nggak yakin bisa sebodo amat kamu, Mar. Aku nggak yakin bisa baik-baik saja dalam waktu singkat karena yang kuharapkan selama ini bukan sesuatu yang bercanda. Kalau memang maumu begitu, nggak bisakah kita berubah pelan-pelan saja? Sedikit demi sedikit. Setahap demi setahap. Rasanya terlalu kasar jika harus menyuruhku berhenti dan berpaling darimu saat ini juga. 

Bukankah segala sesuatu pada hakikatnya punya proses yang nggak sama? Kamu nggak punya hak untuk melarang dan menyuruhku ini itu, Mar! Kamu siapa?!

BEGITU!

Begitu seharusnya kujawab dia waktu itu. Seharusnya aku melawan. Seharusnya aku bilang 'nggak' saat hatiku menolak, bukannya 'iya iya' saja sama semua hal yang ia perintah layaknya seorang pesuruh pada rajanya.
Ah!

“Aku tahu ini sulit buatmu. Asal kamu tahu, bagiku juga sama pada awalnya.
Tapi aku tahu kamu sebenarnya bukan tipikal orang yang lemah, Say. Aku tahu kamu pasti bisa melewati masa transisi ini dan mengubah perspektifmu pada akhirnya. Karena ya, mau bagaimana lagi? 

Mumpung belum terlanjur jauh, mumpung masih nggak terlalu susah, lebih baik kita mulai saja gladi berpisahnya sedari sekarang.

Analoginya begini.

Ketika kamu sudah terlalu nasionalis lalu terpaksa pindah ke luar negeri, apa yang akan kamu rasakan? Satu hari di sana pasti akan terasa seperti selamanya, kan? Semakin hari akan terasa seperti kutukan karena kamu malah akan jadi semakin rindu dan semakin ingin kembali ke tanah airmu.

Berbeda jika sejak awal kamu sudah nggak terlalu nasionalis. Kamu tetap cinta negaramu, tapi tetap bisa fleksibel kalau mesti tinggal di luar negeri. Mungkin pada awalnya memang akan bertemu yang namanya culture shock. Namun hari demi hari, bulan demi bulan, semua siklus hidup yang baru itu akan jadi sebuah kebiasaan baru yang kita sebut adaptasi. Walau begitu, kamu tetap mencintai negerimu, kan?

That's it. Because in reality, here we are. 

Mampu beradaptasi dengan negeri baru, bukan berarti kecintaan terhadap negerimu berkurang, kan?

U got my point?”



Ya.

:)

Analogi yang bagus, Mar. Lidahmu seperti mata pedang yang menghunusku langsung ke tengah-tengah jantung. Itulah kenapa aku nggak bisa melawan lagi, karena sesuatu yang logis memang sulit dibantah oleh alasan subjektif yang menyangkut soal perasaan.

Pada akhirnya, lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, aku mengangguk dan setuju dengan kesepakatan baru yang sebenarnya kamu buat sendiri. Kita nggak mendiskusikannya bareng-bareng, kan? Selama ini kamu lah yang selalu memutuskan semuanya seorang diri. Selama ini kamu lah yang jelas-jelas nggak mementingkan soal keberadaanku sama sekali.

Selama ini kita ternyata bukan saling, tapi masing.

Sampai sini kita tahu, bahwa sejak awal Mar memang nggak pernah berniat untuk sungguh-sungguh menetap.

Bahwa sejak awal, dia memang sengaja mampir..

.. untuk bisa pergi lagi kapan-kapan.

---









Kukira sudah terlalu panjang episode ini kutulis. Padahal, aku baru bercerita sampai perihal 1 Juni saja. Masih ada 29 hari lain yang belum tersebut dan belum terevaluasi. Itu artinya, episode kali ini akan bersambung.


Kalau begitu, sampai bertemu lagi di Perihal Juni (Part 2).
Kamu nggak berpikir cerita ini akan tamat sekarang, bukan?[]


-----------------------------------------------


In case you missed it:

#1 Tentang Maret
#2 Soal April
#3 Cerita Mei

Comments

  1. Parah sih setiap kalimatnya tuh bikin kita kebawa suasana. Kesel, sedih, tapi kalau dipikir lagi, logikanya bener banget

    ReplyDelete
  2. Keren banget saybah🥰🥰

    ReplyDelete
  3. Bahasanya keren banget sih, aku aja yg suka nulis masih belibetan wkwk.

    ReplyDelete
  4. Ih parah sih ini qreenn abis, anteng banget bacanya.. tar kalo udah banyak tulisanmu jangan lupa dibikin buku yak buk aku pasti beli 100%!!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Study at Mr. BOB Kampung Inggris Pare

Haaaaloooo gaessss!😀 Okay, to the point aja ya biar ga kelamaan, karena aku tau nunggu itu gaenak😢 Sekarang aku mau bagi-bagi informasi + cerita-cerita pengalaman pribadi aku sama kalian semuaa para readersku tersayang :') *lebay* tentang... *jengjengjengjeng...* PENGALAMAN BELAJAR BAHASA INGGRIS DI KAMPUNG INGGRIS PAREEE~!  Yuhuu~ *plokplokplok* *jingkrak-jingkrak*   Jadii, buat siapapun yang pengen ke Pare tapi bener-bener blank dan gapunya gambaran apapun tentang Pare kayak, "Pare tuh kayak gimana sih?" or "Aku harus bawa apa aja kesana?" or "Nanti aku tidur makan segala macemnya gimana?" Yeaaah kalian milih blog yang bener guys👍 Aku harap cerita dan ulasan dari aku ini bisa lumayan ngebantu dan ngasih gambaran ke kalian biar nggak blank banget karena aku bakal bahas dengan detaaaiiilll^^ So yupz, what are you waiting for? Check it out!   1. Lokasi Kampung Inggris Pare    Kampung Inggris a.k.a English Village Pare ini terlet...

#AkuInspirasiku : Emangnya Cuma Anak SMA Formal Aja yang Bisa Lolos PTN?? Anak Homeschooling Juga Bisa!

Halo, semuanya! :) Kenalin, aku Saybah. Gadis labil dan superbiasa yang beberapa hari lagi baru akan menginjak usia kedelapan belas. Di postingan kali ini, aku ingin bercerita tentang sebuah kisah perjalanan unik yang mungkin nggak semua orang punya. Sepotong kisah perjalanan hidup seorang aku , yang awalnya sama sekali nggak punya niatan buat kuliah di Indonesia (serius!), apalagi ngambis ngejar-ngejar PTN kayak temen-temenku yang lain. Namun, rupanya takdir punya bahasanya sendiri. Karena di sinilah aku sekarang, duduk di atas tempat tidurku yang nyaman, mengetik semua ini sedari awal sebagai salah satu dari ribuan pendaftar yang dinyatakan lolos jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2019 dan telah berstatuskan sebagai mahasiswa baru di Fakultas Pendidikan Seni dan Desain Universitas Pendidikan Indonesia. Alhamdulillah :) Sebelumnya, aku mau kita sama-sama memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena semua takdir dan keberhasilan ini nggak akan ...

CERITA CIHERASKU | First Time Ngasih Dot Susu Ke Anak Kambing!!

Halo~ Halo~ Udah seabad nih ya gak ngepost tulisan apa-apa. Blog ini udah bagaikan taman di kotaku aja, makin sini makin gersang, sepi, dan gak keurus. Ups keceplosan🙊 Ya udah sih ya, mau berapa kali pun aku minta maaf gegara kelamaan gak posting sampe sujud sujud di tanah juga gak bakalan ngefek gimana gimana kan ya . Ceilaaahh.. Udah kerasa belum sih aura-aura orang sibuknya?😎😎 Yup, tanpa banyak muqodimah #aseekk, langsung aja ke inti ceritanya. Kali ini bukan cerita motivasi, bukan tugas sekolah juga, tapi aku harap sih kalian bisa ngambil hikmahnya dari setiap tulisan yang aku ketik ini. Yakali udah baca sampe abis gak dapet apa-apa:( Rugi dong sayaaangg! Seenggaknya ada sesuatu yang bisa kalian petik dari serpihan diari ini gitu, ya seenggaknya kalian jadi tau kalo ternyata kambing juga ngedot atau apa kek. Yaudah ya, kepanjangan ini intronya. Langsung aja cuuusss, check this out! Jadi, dari tanggal 24 September - 5 Oktober 2018 kemarin itu emang jadwalnya program maga...

10 TIPS PDKT ALA ALA :)

Halo, semuanya!👋👋 Gak kerasa ya, satu semester sudah berlalu sejak terakhir kali aku posting tentang cerita SBMPTN 2019 ituu wkwkw ( kamu wajib baca di sini! ).Rasanya baru kemarin, serius deh. Kalo diinget-inget lagi, ternyata udah lebih dari satu tahun terlewati sejak pertama kali aku memasuki fase bimbel dan 'mulai serius belajar'-ku demi bisa jadi mahasiswa kayak sekarang /ngggg terharuuu/. Sumpah gak kerasa banget, rasanya kayak emang baru kemarin semua perjuangan ini dan itu aku lakukan, ujian sekolah, UN, try out ty out try out, UTBK gelombang satu gelombang dua, dan sekarang udah mau naik semester 2 aja kuliahnyaaa. Huhuhu secepat inikah waktu bergulir :') Dan akhirnya, setelah melewati masa-masa sulit dan adaptasi yang nggak gampang di dunia perkuliahan, setelah menyelesaikan banyak banget tugas kuliah dan ospek jurusan yang nggak ada matinya, aku bisa kembali menyapa kalian dan nulis lagi, guys! So, welcome back to my diary !😭💜💜 Aww seneng bgttt. B...

Ini Dia, 10 Tips Ngeblog Asyik Ala si Ibu Jerapah

Tepat seminggu yang lalu, Hayat School kedatangan seorang tamu istimewa, lho! Beliau adalah seorang blogger nasional yang sudah menjuarai berbagai kontes menulis dan juga menerbitkan beberapa buku karya sendiri. Beliau memang sudah tertarik dengan dunia tulis menulis dan mengasah potensi menulisnya sejak dini. Ya intinya, menulis telah menjadi hobi favorit sekaligus juga bagian dari hidupnya, wkwkwkwk. Lalu, siapakah dia? Tadaaa~! Kak Dessy namanya, lengkapnya Dessy Natalia. Sebuah nama yang cantik dan terkesan anggun, bukan? Yup! Kak Dessy yang lebih dikenal dengan blog usernamenya, Ibu Jerapah, memang tidak kalah cantik dengan namanya sendiri. Dalam sekali lihat, kalian mungkin akan berasumsi bahwa beliau adalah anak kuliahan. Dengan style -nya yang santai dan pembawaannya yang cheerful, kalian akan mengiranya begitu.   Kak Dessy (Belakang, 3 dari kanan) bersama para siswa upgrade Hayat School Eiits! Tapi jangan salah, ternyata Kak Dessy bukanlah seorang anak k...

Memahamimu, Baru Memahamiku

Apakah kamu pernah, berada di atas puncak kelelahan? Ketika kamu dihadapkan kepada sebuah masalah lalu semua orang menghilang entah ke mana, tak ada satu orang pun yang mempedulikan dan bisa memahamimu. Tidak ada yang memahami kesulitan serta perasaanmu. Tidak ada yang mengerti kamu. Lalu apa? Apakah kamu ingin mendaki sampai ke puncak Everest dan menjerit-jerit ke langit hingga tenggorokanmu sakit bahwa hidup ini tidak adil? Bukan seperti itu, kawan. Hanya saja, mari kembali bercermin. Menatap pantulan dirimu yang ada di sana, dan lihat, apakah ada satu riasan yang kurang sehingga membuatnya tak sempurna? Apakah ada sesuatu yang belum kamu lakukan terhadap orang lain sehingga kamu belum mendapatkan balasannya? Aku tahu bahwa kamu juga ingin pernak pernik kekinian seperti yang semua teman-temanmu miliki. Aku tahu bahwa kamu hanya ingin memenuhi isi lemarimu dengan baju-baju bagus dan bermerk seperti yang semua teman-temanmu lakukan. Memiliki semua yang keren, dan hidup sebagai anak...

Yuk, Simak 5 Kebiasaan Orang Korea yang Wajib Kita Tiru!

Annyeonghaseyo, readers !  Di postingan kali ini, aku akan membahas lima budaya dan kebiasaan para oppa - eonni yang sering nongol di drama layar kaca itu loh~ Wuih, bakalan asyik nih, hehehe :D Karena aku juga termasuk seorang fangirl  yang lagi terjangkit virus Hallyu , mohon dimaklumi ya, kalau tiba-tiba artikelnya jadi agak ngidol atau gimana :v Ok, what are you waiting for? let ’ s check it out! Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa setiap negara pastilah mempunyai culture  atau budaya masing-masing yang berbeda-beda. Menurut pendapatku, budaya / kebiasaan itu sendiri terbagi menjadi 2 macam. Pertama adalah kebiasaan yang diwariskan turun temurun dari moyang-moyang terdahulu dan biasanya itu bersifat kebudayaan murni. Kemudian yang kedua yaitu budaya yang tercipta dikarenakan faktor zaman & teknologi yang semakin sini semakin berkembang. Sebagai contoh, kehadiran smart phone di muka bumi ini memberikan dampak budaya & perubahan yang sangat besa...

Contoh Resensi Buku: Hazu Academy (2009)

Hello! Hari ini aku mau bagi-bagi info, yaa siapa tahu aja kan ada yang lagi dapet tugas Bahasa Indonesia disuruh bikin resensi buku? Siapa tahu bisa bantu gitu kaann dikit-dikit :') Sebenernya ini juga tugas dari Literature Club di sekolah sih wkwk. Buku yang aku bahas juga buku jadul, jamannya masih suka borong KKPK waktu kelas 3 SD gitu :v Okay, just check it out! Source: www.google.com Resensi Buku - Judul Buku: Hazu Academy - Pengarang: Sarah Aulia Muntaza - Penerbit: DAR! Mizan - Tahun Terbit: 2009 - Jumlah halaman: 163 halaman (Identifikasi Buku) - Genre: Fantasi - Tokoh: Nabuo Azake, Tatsuo Azake, Tsuyama Haragaka, Haruna Ikada, Erica Yuzuno, Zachary - Latar Tempat: Bumi, Hazu Academy - Latar Waktu: Masa kini - Latar suasana: menyenangkan, mengharukan, mendebarkan, mencekam - Alur: Maju - Sudut pandang: Orang ketiga (maha tahu) (Sinopsis) Nabuo dan Tatsuo Azake adalah saudara kembar yang secara diam-diam didaftarkan oleh ayah...

Jalan-Jalan Ke Museum Geologi Ala Hayatschooller

Museum Geologi? Hueeekk!😩 9,9 dari 10 rakyat Bandung akan dapat dipastikan mengalami gejala mual dan mood-down saking bosannya. Bagaimana tidak? Museum Geologi adalah museum paling populer, terdekat, dan terjangkau yang ada di Kota Bandung sejak aku masih dibedong hingga sekarang. Fosil dan dinosaurus adalah hal yang cukup menarik bagi anak-anak maupun orang dewasa sehingga tidak mungkin untuk dilewatkan. Lokasinya yang strategis, dekat dengan Gedung Sate (bangunan simbolis Jawa Barat) dan Masjid  PUSDAI Jawa Barat, menambah banyaknya pengunjung yang datang. Tepatnya museum ini terletak di Jl. Diponegoro no 57. Bahkan, hampir setiap hari ada bermacam-macam bus pariwisata dari berbagai daerah di Pulau Jawa terparkir di sepanjang museum. Benar, Museum Geologi Bandung sudah dianggap memuat informasi yang lengkap dalam menunjang kepentingan kegiatan belajar mengajar pada bidang IPS, khususnya sejarah dan geografi untuk pelajar setingkat SD-SMA. Namun tak dapat dipungkiri bagi mahas...

[1st WIN lagi!] Korean Drama Live Dubbing Competition (말하기) dan Apa Itu Homey Show 2019

Haloooooooooooooo, uhuk, uhuk, uhuk. Ehehehe. Ini tadi batuk asli pas lagi ngetik jadi auto type gitu, serius dah. Flu mulu nih dari Desember, belom sembuh-sembuh juga Ya Allah udah setaun dih. Hiks:( Wey, wey.. btw pakabs nih, udah lama banget ya kitaaaa... lost contact. Seabad ada kali ya. Di postingan kali ini aku bukannya mau pamer sertifikat /eh/ atau sombong sombongan etc karena kebetulan seminggu yang lalu aku emang baru banget menang semacam lomba gitu EHEHEHE. So, kali ini aku pengen sharing aja ke kalian semua tentang jenis perlombaan yang bisa dibilang cukup 'unik' ini dan tentunya aku juga bakal ceritain manis pahitnya perjuangan di balik gelar sang 'JUARA 1' wkwkwk. Ya wajarin aja kali ya kalo ternyata kalian di sini accidentally ngerasain happy vibes yang nyelip di setiap hurufnya ato apa HAHA karena ya saya juga kan manusia :( Saya pun berhak untuk merasa bahagia :) #tertusuq. Eh ada kembaran Q: Eh, eh, eh. Kalian nggak bingung kan pa...