![]() |
(source: pinterest) |
Rantai-rantai roda berputar, berbagai macam bunyi mesin laju bercampur padu—berderu samar di antara kebisingan hiruk pikuk jalan raya pada puncak waktu sibuknya. Sementara itu, di sebuah persimpangan jalan, seorang pemuda tanpa sarung tangan tampak mencengkeram stang kemudinya dengan kuat, badannya berkelok-kelok dengan elok mengikuti alunan irama aspal yang mengarahkannya pada persimpangan-persimpangan lain di kota itu. Sesekali, pemuda itu menggerak-gerakan jemarinya yang lentik ketika ia dan kendaraan kecilnya terhenti di perempatan lampu merah. Atau kalau tidak, tangannya yang usil itu lebih suka menepuk-nepuk kaki orang yang terjulur dari jok penumpang di belakangnya dengan ketukan irama tersendiri. Persis seperti apa yang akan dilakukannya sekarang.
“Joan!” suara pekikan dari jok belakang memprotes. Suara perempuan.
“Jangan tidur, Ara.” ungkap si pemuda, terkekeh di balik helm full face-nya.
“Mana ada aku tidur?”
Si pemuda kemudian kembali terfokus pada lampu merah, dengan sabar menunggu saat yang tepat untuk kembali berpacu dengan sepeda motor lainnya di landasan fly over. Andai saja si pemuda—atau semua orang dapat menyaksikannya kala itu, bahwa ada seutas senyum yang diam-diam merekah tersembunyi di balik sehelai kain masker yang tidak lebih tebal daripada selembar kertas asturo. Perempuan itu berdehem, berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri sore itu. Ia tidak ingin terlalu lama berlarut dalam perasaan menyenangkan yang tiba-tiba datangnya. Entah mengapa baginya, obrolan sederhana yang mengisi keheningan tiap kali ia terjebak dengan seseorang di persimpangan lampu merah justru punya kekhasannya tersendiri. Obrolan tentang apapun, dengan siapapapun, sesingkat apapun, selalu terasa unik dan mudah terkenang dengan caranya sendiri.
Ara, sapaan akrabnya. Gadis itu berpostur lebih kecil dari pada teman lelakinya, Joan. Tingginya tak sampai 160 cm sehingga dapat tersamarkan dengan mudah di balik punggung si pengemudi motor. Di bahunya yang mungil bertengger ransel berwarna gelap tanpa merek yang dibelinya di toko online setahun yang lalu. Sembari mulai bersenandung kecil, gadis itu diam-diam memperhatikan gerakan awan yang bergerak lamban di atas kepala mereka, mencoba membayangkan bentuk-bentuk imajinatif seperti kura-kura, sekuntum bunga mawar, penggaris, atau apapun yang bisa ia bayangkan di dalam pikirannya sendiri. Namun belum sampai sepuluh detik, lampu hijau kembali menyala dan si pemuda dengan cepat membawanya berlari lagi. Bersama-sama menyusuri kota.
^^^
Sisa-sisa semburat oranye kemerahan dengan sedikit percampuran gradasi magenta dan ungu pastel merebak di cakrawala, membubuhi setiap inci demi inci bentangan langit sebagai pertanda hari sudah semakin sore. Bahkan hingga beberapa waktu setelah itu, sesudah matahari terbenam dengan sempurna ditelan perbukitan dan atap-atap bangunan yang tidak simetris itu, perjalanan kecil mereka masih belum juga selesai. Semakin jauh sepeda motor itu melaju, tampaknya jalan yang dilalui pun semakin menyempit. Begitu pula dengan sisi-sisi lain jalan yang semakin menyepi seakan mereka memasuki kawasan asing tak berpenghuni. Sebuah jalan tampak terjal menanjak di ujung mata, namun beberapa kali bunyi rem harus berdecit karena turunan tak landai yang tiba-tiba.
“Masih jauh?” gadis penumpang yang di belakang bertanya, penasaran.
“Sebentar lagi, nggak begitu jauh.” Jawab si pengemudi.
Dalam hitungan detik, mereka tiba di sebuah jalan setapak tak beraspal, terhimpit di antara rerumputan dan ilalang yang menjalar dengan liar di kedua sisinya. Di sampingnya, tumbuh semak-semak dan pepohonan kebun yang hampir tak terlihat lagi warnanya karena minim penerangan. Lalu beberapa meter di ujung jalan, sebuah bangunan kecil dengan halaman yang luas menyembul di antara keheningan malam. Gelap. Sunyi.
Si pemuda menghentikan sepeda motornya tepat di depan pagar.
"Sudah sampai. Ayo turun,"
“Rumahnya yang ini? Betulan yang ini?”
“Iya. Memangnya kamu pikir apa? Apartemen 20 lantai? Nggak, lah.”
Gadis itu terkekeh sambil melompat turun dari jok motor, pupil matanya membulat karena harus beradaptasi dengan lingkungan yang gelap. Atas dasar keinginannya sendiri, ia lalu melenggang masuk menyusuri pekarangan penuh ilalang menuju bangunan utama yang dicat putih begitu kawannya, Joan, berhasil membuka kunci gembok pagar.
Rumah itu—sebenarnya tidak tahu apakah bisa disebut sebagai rumah karena hanya terdiri dari satu ruangan utama yang difungsikan menjadi kamar tidur, satu ruangan lain sebagai dapur, dan satu kamar mandi yang ukurannya cukup untuk menampung satu kloset dan mesin cuci—kelihatannya masih belum rampung sempurna, sebab beberapa dinding masih dibiarkan alami tanpa dipoles cat tembok sama sekali. Atau, memang pemiliknya sengaja membiarkan seperti itu saja karena terlampau malas.
Selama beberapa waktu terakhir, laki-laki itu tinggal di sini, di tempat ini. Bangunan itu memang bukan miliknya, seseorang memintanya untuk sementara menempati rumah itu selama ia berada di kota ini. Lalu sekarang, rencananya ia hanya akan singgah sebentar untuk mengambil beberapa barang kemudian segera kembali ke rumahnya, ke kota asalnya sebelum hari semakin larut.
Begitu mereka sampai di depan pintu, semua lampu masih dalam kondisi padam. Suasana begitu hening, hanya ada bunyi serangga sejenis jangkrik serta tetesan gerimis yang lambat laun semakin membesar hingga membuat keduanya otomatis merapatkan diri ke arah pintu. Ara dengan cemas menengok ke area lahan yang dipunggunginya. Di pekarangan belakang, konon memang ada kuburan tua. Membayangkan sosok yang tidak-tidak bisa saja membuat orang bergidik ngeri tiap kali berdiri di tempat itu terlebih pada malam hari seperti ini. Akan tetapi, gadis yang datang kemari itu tidak takut. Sama sekali tidak. Ia merasa sangat aman—bahkan cenderung nyaman—sebab ada seorang teman baik di sisinya. Dan mengetahui fakta bahwa rumah ini memang biasa ditinggali oleh teman laki-lakinya itu membuat suasana hatinya jauh lebih tenteram.
Selama beberapa menit, Joan sibuk sendiri dengan kunci-kunci. Ia berusaha memasukkan salah satunya pada lubang kunci pintu dan memutarnya berulang kali, mengira-ngira letak posisi yang pas menggunakan insting sebab tak ada cahaya dari arah mana pun yang dapat menembus sampai ke depan rumah. Dengan serentetan suara gemerincing logam yang berisik akhirnya pintu itu terbuka dan ruangan menyala dengan segera setelah ia menekan tombol saklarnya dari dalam.
“Nah, jauh lebih baik!”
^^^
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam lewat sekian, namun dilihat dari balik pintu yang sengaja dibiarkan terbuka, hujan tampak begitu bersemangat mengguyuri seisi kota tanpa berencana untuk mengakhirinya lebih awal.
Laki-laki itu duduk duduk dengan santai di atas kasurnya—benar-benar kasur miliknya—pikirannya tenggelam ke dalam kebisingan tak bersuara yang simpang siur di layar ponselnya. Wajahnya berkerut, tatapannya serius. Ara menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub melihat tingkah laku kawannya yang seakan memiliki kesibukan tiada akhir. Dasar orang penting, ia membatin.
Sementara Joan terbenam dalam obrolan ‘penting’ di dalam dunianya, gadis itu dengan setengah mengantuk dan badan letih setelah seharian berkegiatan di kampus diam-diam berselonjor kaki di atas karpet bulu di samping pintu, merebahkan kepalanya ke samping pada sisi kasur dan memejamkan mata sembari mencoba menemukan ketenangan batin dengan mendengarkan bunyi rintik hujan. Begitu damai..
“Gimana sama Wisnu?”
Sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan. Rupanya ia telah selesai dengan urusan di ponselnya dan kini tertarik untuk membuka obrolan.
“Kayaknya dia beneran suka sama kamu deh, Ra? Si Wisnu,”
Mendengar topik obrolan yang diangkat, gadis itu cuma nyengir.
“Apanya yang gimana?”
“Ya, dia udah nembak atau belum?”
Gadis itu menggeleng dengan cepat sesaat setelah tawanya meledak tak terbendung.
“Udah ditembak, ya?”
“Apaan sih Joan, kok tiba-tiba nanya begituan?”
“Ya, siapa tahu?”
Laki-laki itu tersenyum lebar, begitu kentara di wajahnya bahwa ia menikmati ekspresi dan aura panik dari perempuan yang tengah bersungut-sungut di sampingnya. Entah apa yang membuatnya tertarik, tapi di matanya Ara memang perempuan yang menarik.
Gadis itu menggelengkan kepalanya sekali lagi sambil berujar,
“Nggak, nggak ada tembak menembak. Memangnya kita tentara?”
Joan terkekeh.
“Terus?” tanyanya. “Terus gimana kelanjutannya?”
“Hmm, ya.. secara nggak langsung dia pernah confess sih. Beberapa waktu lalu.. Tapi intinya bukan itu. Dia memang suka sama aku, sejelas itu, sekentara itu bahkan sekali pun dia nggak pernah bilang kayaknya aku juga udah tahu.” Gadis itu memaparkan panjang lebar dengan gaya bicaranya yang cukup menggemaskan; bersemangat, ekspresif, dan penuh warna pada setiap penekanan diksinya. “Tapi aku nggak tahu, Jo.. Aku nggak tahu apakah aku punya perasaan yang sama ke dia,”
“Duh, pokoknya kamu tahu lah, Jo. Kalau ada orang suka sama kita biasanya suka muncul feeling tersendiri, bikin kita sadar. Kerasa aja gitu.. ada yang beda. Ya, kan? Ngerti, kan?”
Joan, yang tanpa gadis itu sadari sudah memperhatikannya sedari tadi tersenyum geli. Ia menepuk-nepuk kepala gadis itu lembut bagai mengekspresikan rasa sayang.
Ada sesuatu, sesuatu dari masa lalu yang sejatinya hampir tidak pernah ia ungkapkan secara langsung kini tiba-tiba menyeruak ke dalam pikirannya. Sesuatu yang membuatnya mengingat kembali pertemuan-pertemuan awal mereka di tahun pertama perkuliahan, sesuatu yang membawanya kembali pada perasaan singgah tak singgah yang selalu ditutup-tutupinya selama ini. Sesuatu yang membuatnya teringat, bahwa pada suatu hari jauh sebelum hari ini diciptakan, ia sempat begitu menyukai gadis di hadapannya itu.
Laki-laki itu kemudian menatap sepasang mata berbentuk setengah bulan di sampingnya lekat-lekat. Dengan penuh kesadaran, ia paham betul bahwa bagaimana pun waktu tak bisa diputar ulang—hanya saja masih bisa dikenang. Lalu sambil sedikit terkekeh, ia bertanya,
“Tapi kenapa waktu dulu kamu bisa nggak sadar, Ra?”
Ara tertegun. Butuh satu detik baginya untuk menangkap maksud pertanyaan itu.
Gurat senyum di bibir Joan tampak mengisyaratkan sesuatu dan gadis itu dengan cepat memahaminya. Ia hanya terkejut, sebab selama ini anak itu tidak pernah menunjukkan apapun soal ketertarikan secara romantik atau apalah. Mereka hanya teman, tidak pernah lebih dari itu. Sepasang teman yang juga tak setiap saat selalu bersama. Satu hal yang Ara tahu—dan selalu diyakininya sampai detik ini, anak laki-laki itu selalu begitu baik padanya karena mereka berteman akrab. Karena mereka saling terhubung. Semacam ada gelombang tak kasat mata yang menyatukan tapi bukan seperti pasangan, melainkan sesuatu yang terasa jauh lebih menenangkan seperti.. persaudaraan?
Namun tanpa berpikir panjang, gadis itu ikut tertawa. Suasananya hangat dan pertanyaan Joan barusan membuat semuanya terasa lebih konyol lagi. Dan untuk kedua kalinya, tanpa berpikir panjang, kalimat ini lolos dari mulut Ara dengan sendirinya,
“Yah, Joan. Kenapa dulu kamu juga nggak ngeh, sih?”
Joan terkekeh lagi. Mereka tertawa bersama-sama, menikmati suasana malam yang hangat sebelum satu detik kemudian keduanya saling menyadari.
^^^
Hujan belum usai, tapi waktu tak mau menunggu. Sudah hampir pukul 8 malam dan Joan harus segera mengantarkan Ara sampai ke depan pintu pagar rumahnya dengan selamat.
Ara berdiri di samping sepeda motor yang menyala, memperhatikan perkebunan gelap di sekelilingnya sementara Joan memastikan gerbangnya sudah terkunci dengan benar.
“Ayo, Ra.” serunya kemudian.
Di sepanjang perjalanan pulang, mereka hampir tak saling bicara satu sama lain. Gadis itu terlarut di dalam pikirannya sendiri begitu pula dengan temannya yang sedang mengemudi. Mereka hanya membiarkan suara klakson dan deru knalpot yang berisik mengisi kekosongan di antara keduanya sampai waktu menghantarkan mereka ke depan sebuah pagar besi lipat, pagar rumah Ara.
“Oh!” sahut gadis itu tersadar.
Ia buru-buru turun dari jok motor dan membuka helm-nya dengan hati-hati. Wajahnya tampak lelah. Memang tertutup masker, tapi sorot matanya tak bisa bohong.
Joan tersenyum padanya. Laki-laki itu membuka telapak tangan kirinya dan menjulurkannya ke hadapan si perempuan sebagai tanda perpisahan. Ara dengan sigap menepuk telapak tangan Joan dengan tangan kanannya dan untuk beberapa saat, jari jemari mereka saling berkaitan—seakan masih ada sesuatu yang belum selesai, yang ingin disampaikan di antara keduanya tapi kata-kata tampaknya enggan untuk bekerja.
Sebelum benar-benar berpisah di ujung jalan, si gadis mendekat dan kemudian berbisik di dekat telinga Joan dengan lembut,
“Hati-hati di jalan, Jo,” gumamnya. “titip salam buat pacarmu yang cantik,”
Joan mengangguk mantap, ia menepuk lengan gadis di depannya satu kali sebelum benar-benar pergi.
“Sehat sehat, Ara.”
Beberapa saat kemudian, Joan dan sepeda motornya menghilang di tikungan jalan, tinggal menyisakan si perempuan seorang diri yang masih berdiri mematung di depan pagar rumahnya sendiri. Ia baru saja menyaksikan kepergian seseorang yang pernah disukainya, yang pernah menyukainya, dan yang ternyata memang ditakdirkan semesta untuk sekadar menjadi kawan pada akhirnya.
Gadis itu menghela napas, lagi. Yah, namanya juga hidup, tak pernah tak mengejutkan.
Ia kemudian membalikkan tubuhnya yang berbalut jaket tebal dan segera melangkah masuk ke dalam pekarangan rumahnya dengan gontai. Lalu tanpa sadar, bibirnya tersenyum. Di dalam kepalanya terputar reka adegan yang telah terjadi dalam satu hari yang panjang. Tak pernah ada yang tahu, bahwa jauh di dalam benaknya, ia selalu bersyukur bisa menjadi salah satu dari sekian banyak serpihan kecil di dalam hidup Joan. Di matanya, Joan adalah figur yang mendekati sempurna; sosok seorang teman, sahabat, kakak, seseorang yang bisa memberinya saran, hiburan, sekaligus melindunginya dalam satu waktu.
Tidak jadi masalah jika tak jadi pilihan hati.
Sebab tidak perlu menjadi seorang kekasih untuk bisa menikmati rasanya menyayangi, bukan?
Wow talented
ReplyDeleteThank u ^^
DeleteKeren banget kak
ReplyDeleteterimakasi :D
Deletepada akhirnya kita memang ngga pernah tau ending sebuah pertemanan bagaimana, terlebih pertemanan dengan lawan jenis
ReplyDeletediksinya seperti cara bicara Ara: ekspresif & penuh warna��
thank u so much! 🥺❤
DeleteHihii..entah masalah waktu, atau kurang peka 😭 tapi kalimat penutup sungguh asksksksk
ReplyDeletesending virtual hug o(TヘTo)
Delete