(Tulisan
ini diketik pada tanggal 15 Agustus 2020 pukul 3.05 PM)
Mar. Kamu di sini?
Aku
nggak tahu apakah selama ini kamu suka diam-diam singgah di blog-ku dan baca
setiap kata demi kata pada tulisan-tulisanku sebelumnya atau nggak. Hmm.. tapi
jika iya, terima kasih karena sudah menjadi satu dari sekian ratus pembaca yang
mau mengapresiasi karyaku dengan membaca.
Aku
menulis ini, hanya ingin kamu tahu bahwa aku nggak bereskpektasi apa-apa ketika
pertama kali mem-publish episode pertamaku di bulan Maret. Aku sama
sekali nggak peduli apakah kamu mau baca atau nggak. Aku nggak peduli apakah
kamu masih punya pedulimu atau nggak. Karena aku nggak benar-benar
menuliskannya untukmu waktu itu. Terserah mau bereaksi seperti apa, yang jelas
bukan perhatianmu yang aku cari.
Meskipun,
memang nggak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti kamu baca semuanya. Seenggaknya
kamu jadi tahu apa yang sebenarnya kurasakan selama beberapa waktu yang berat
itu dan mungkin kamu juga bisa berbenah diri setelahnya. Aku nggak terlalu memikirkan
tentang hal itu, karena ini murni keinginanku sendiri. Ini murni sebuah karya tulis
alami yang kuharap bisa menjadikan luka-luka lama itu sembuh dan memudar dengan
sendirinya. Syukur syukur, bisa benar-benar hilang selamanya.
Benar,
Mar.
Tulisan-tulisan
ini sudah jadi semacam treatment dan self-healing buat diriku
sendiri. Aku tahu pada hakikatnya, setiap orang punya cara uniknya masing-masing
untuk sembuh dari luka dan mungkin beginilah caraku memulihkan diriku sendiri setelah
semua hal yang terjadi sampai beberapa waktu yang lalu.
Dengan
menuliskannya, dengan menumpahkan semuanya.
Dengan
begini, aku merasa seolah-olah beban di pikiranku jadi lebih ringan dan dadaku
pun rasanya jadi lebih lapang. Aku bisa berpikir lebih jernih ketika aku
menulis. Aku bisa mencari letak kesalahanku dan solusi yang seharusnya kuambil
saat aku menulis. Lebih dari itu, aku bisa mengenal diriku sendiri dengan
lebih, lebih, lebih baik lagi. Karena menulis nggak sekadar mencoret pena atau
mengetik di komputer, Mar.. menulis adalah pekerjaan yang sulit. Kita butuh
akal, pikiran, imajinasi, perasaan, dan memori yang mau nggak mau harus
dilarutkan jadi satu. Mengorbankan waktu, mengorbankan emosi, dan untuk
beberapa kasus, harus rela berderai banyak air mata.
Kamu
perlu tahu, Mar, bahwa aku nggak pernah main-main dengan setiap kata yang aku
tulis.
Aku
pernah dengar entah di mana. Tapi katanya, cara terbaik untuk menghilangkan
ketakutanmu itu ya dengan cara menghadapinya.
Benar
bahwa selama ini kamu adalah wujud ketakutanku, Mar. Aku takut jika suatu hari
nanti akan mengulang kisah dan cerita yang sama persis seperti apa yang sudah terlanjur
terjadi pada kita dulu. Aku takut untuk menemui rasa-rasa indah itu lagi pada setiap
langkah kehidupanku yang sekarang. Aku takut membukakan pintu untuk tamu lain yang
mungkin saja cuma ingin corat coret luka sepertimu lagi. Aku takut terjebak lagi
dan lalu mati-matian lagi keluar dari sana sekuat tenaga. Aku takut jadi
seenggak berdaya itu lagi. Aku takut jadi semenyedihkan itu lagi. Aku takut.
Takut
sekali.
Aku
tahu aku takut, jadi bukankah sebaiknya kuhadapi ketakutanku itu, Mar?
Dan
seperti yang kita tahu, waktu nggak pernah berhenti bergulir.
Satu
tahun sudah berlalu sejak pertama kali aku mencoba untuk keluar dari sana
sejengkal demi sejengkal.
Benar
kata orang-orang, proses itu mendewasakan. Aku mungkin nggak terlalu
merasakan perbedaannya tapi aku yakin orang-orang di sekelilingku tahu betul
bahwa aku semakin tumbuh dan berkembang hari demi hari.
Kuharap
kamu pun begitu, Mar.
Kuharap
kamu bisa menemukan jati dirimu dan berusaha jadi versi terbaikmu juga di
kemudian hari. Jangan buat kesalahan bodoh dua kali karena aku juga nggak akan
pernah lagi mau mengulanginya. Aku harap kamu bisa baik-baik, kita bisa baik-baik,
karena nggak ada yang lebih canggung dan menyedihkan daripada dua orang yang
belum pernah selesai mengakhiri urusannya dan memutuskan untuk terus jadi nggak
jelas sampai selamanya..
Kamu
tahu, Mar? Memikirkan hubungan kita yang berantakan dan asing seperti saat ini
selalu membuatku frustrasi sampai sekarang. Aku nggak tahu apa yang kamu
rasakan sekarang, tapi aku harap kamu nggak benar-benar membenciku dari ujung
sana.
Karena
kamu tahu, Mar?
Melalui
setiap kalimat yang tertuang pada tulisan-tulisanku,
Melalui setiap huruf yang tercetak pada cerita-ceritaku,
aku
sudah benar-benar mengikhlaskanmu.[]
-----------------------------------------------
In case you missed it:

sedihhhhh banget riill. Ada kelanjutannya gak? Apa udah tamat ceritanya sampai di sini?
ReplyDelete