"Aku nggak mengerti kenapa kamu begitu tergila-gila pada Mei."
"Itu karena Mei adalah rencana semesta yang paling indah, Mar. Itu karena dari awal sampai akhir keseluruhan skenarionya bercerita tentang kamu."
"Jadi, kamu lebih suka April atau Mei?"
"April untuk perkenalan kita, Mei untuk kenangan manisnya. Sisanya aku lebih suka kamu.
Percaya atau nggak, kita pernah benar-benar berada di dalam sana, mengukir sepasang senyum paling cantik yang pernah ada.
"Jadi, kamu lebih suka April atau Mei?"
"April untuk perkenalan kita, Mei untuk kenangan manisnya. Sisanya aku lebih suka kamu.
Percaya atau nggak, kita pernah benar-benar berada di dalam sana, mengukir sepasang senyum paling cantik yang pernah ada.
Andai kamu sudi untuk menengok sebentar, Mar. Sungguh kita pernah. Kita pernah ada di sana,
di bulan Mei tahun dua ribu sembilan belas."
--C e r i t a M e i
---
[INTRO]
Halo! Sebelumnya maaf.
Maaf karena Cerita Mei harus terbit saat bahkan
dia sudah mau berakhir dalam hitungan hari. Mei begitu cepat, begitu singkat.
Senggang tapi padat, sibuk tapi luang. Menyenangkan.. tapi membosankan. Ah, pokoknya begitu. Kamu juga paham sendiri, kan.
Nggak kerasa, ya? Beneran, deh.
Kamu pasti nggak sadar kalau Mei sudah mau pamit lagi padahal kemarin
rasanya seperti baru mengetuk pintu dan aku datang menyambutnya, mempersilakannya
masuk untuk duduk-duduk sembari minum teh manis hangat di selasar depan rumah.
Kita semua tahu, Mei emang lagi nggak
baik-baik aja setelah banyak hal yang terjadi sejak awal tahun. Bukannya mau menyalahkan keadaan, tapi sejauh ini 2020 rasanya memang nggak ramah rasa. Maksudku, banyak situasi di mana kita seharusnya bisa merasakan banyak emosi di dalam diri; sangat senang, sedih, sangat marah, merasa sangat berguna atau bahkan sangat butuh pertolongan. 'Merasa hidup', kalau menurut bahasaku.
Tapi karena kondisinya sekarang harus kayak gini, (interaksi dibatasi dan segala macam perintilan a-z) akhirnya banyak kejadian dan peristiwa besar yang justru malah jadi nggak dapet feel-nya. Seakan-akan semua yang terjadi selama masa karantina ini cuma sekadar datang, kita lakukan, kita sudahi, setelah itu dia hilang seperti angin lalu dan selesai.
But, seriously. Mei lagi bener-bener nggak sehat. Baik fisik maupun mental. Dan kemungkinan besar Juni juga masih akan begitu. So, please, guys.. Aku bener-bener memohon sebanget-bangetnya sama kalian semua untuk at least bisa saling menjaga satu sama lain dan nggak jadi manusia-manusia egois di muka bumi ini.
Kamu ingat? Pembicaraan kita di awal Mei
berisikan petuah-petuah bijak tentang bulan suci. Seperti, bagaimana
shalatmu? Apakah puasanya lancar? Sudah mengaji sampai mana hari ini? Seperti
itu. Tahun kemarin kan juga begitu.
Lagi-lagi kamu pasti bilang sudah nggak ingat.
Tapi karena kondisinya sekarang harus kayak gini, (interaksi dibatasi dan segala macam perintilan a-z) akhirnya banyak kejadian dan peristiwa besar yang justru malah jadi nggak dapet feel-nya. Seakan-akan semua yang terjadi selama masa karantina ini cuma sekadar datang, kita lakukan, kita sudahi, setelah itu dia hilang seperti angin lalu dan selesai.
Ya, berasa sayang aja nggak,
sih. Sudah lima bulan terhitung sampai sekarang dan rasanya mesti sehambar ini.
But, seriously. Mei lagi bener-bener nggak sehat. Baik fisik maupun mental. Dan kemungkinan besar Juni juga masih akan begitu. So, please, guys.. Aku bener-bener memohon sebanget-bangetnya sama kalian semua untuk at least bisa saling menjaga satu sama lain dan nggak jadi manusia-manusia egois di muka bumi ini.
Seperti kata Tsana di salah satu episode podcast-nya, 'jangan jadi manusia sendirian.. bareng bareng.'
Mei nggak baik-baik aja, dia lagi sekarat, lagi di ambang kematian dan kehancuran. Jadi jangan pernah berpikir untuk ngelakuin hal yang aneh-aneh kayak di berita berita itu dan please tetap di rumah aja! 😤 STAY SAFE, GUYS. 😤
Mei nggak baik-baik aja, dia lagi sekarat, lagi di ambang kematian dan kehancuran. Jadi jangan pernah berpikir untuk ngelakuin hal yang aneh-aneh kayak di berita berita itu dan please tetap di rumah aja! 😤 STAY SAFE, GUYS. 😤
Oke, selesai ngedumelnya. Sekarang kita balik lagi ke sesi maaf-maafannya.
Jadi, karena pas banget kemarin kita baru aja ngerayain lebaran di rumah, so aku pikir kenapa nggak sekalian aja kita jadikan part ini sebagai ajang bermaaf-maafan online? Hihihi.
Minta maaf itu sebenernya nggak sesederhana kita ngetik mohon maaf lahir bathin terus kita share di media sosial gitu, guys. Dari mana kita bisa tahu kalau mereka yang nge-share itu sungguh-sungguh ingin dimaafkan? Lagian, orang-orang juga memangnya melibatkan perasaan mereka saat baca pesan kita? Ah, boro boro dibaca, paling juga di-scroll doang.
Minta maaf itu sebenernya nggak sesederhana kita ngetik mohon maaf lahir bathin terus kita share di media sosial gitu, guys. Dari mana kita bisa tahu kalau mereka yang nge-share itu sungguh-sungguh ingin dimaafkan? Lagian, orang-orang juga memangnya melibatkan perasaan mereka saat baca pesan kita? Ah, boro boro dibaca, paling juga di-scroll doang.
Nah, ketika mereka nerima message mohon maaf lahir bathin dari kita, apakah itu berarti hati, pikiran, dan seluruh jiwa raga mereka juga otomatis nerima buat memaafkan semua kesalahan kita? Ya nggak semudah itu juga, kan..
Perihal 'maaf' yang cuma empat huruf aja nggak sesimpel itu apalagi yang lain lain. Nanti deh, kalo emang masih ada kesempatan lain aku bisa bahas tentang maaf lebih jauh lagi di episode berikutnya.
Well, aku nggak tahu apakah ada di antara kalian yang menunggu-nunggu sekuel cerita absurd-ku ini atau nggak ada sama sekali, gapapa😢, tapi aku tetap merasa kalo Cerita Mei ini harusnya bisa ditulis lebih awal lagi. Soalnya momennya jadi berasa kurang pas gitu kan jadi kurang gimana ya, nggak. Terlepas dari semua tugas kuliah dan kesibukan lain yang menggunung beberapa hari terakhir, seharusnya aku bisa menyelesaikan cerita ini lebih cepat. Maaf, ya..
Tapi, gapapa deh.
Karena toh pada kenyataannya semesta masih menakdirkan kita
untuk bertemu lagi di sekuel ketiga dari satu rangkaian cerita paling nggak
jelas yang pernah aku tulis dalam hidup.
Well, selamat menikmati kata demi katanya dan selamat datang kembali di sekuel ketiga: Cerita Mei.
Sesuai janji di bulan April, hari ini akan kubiarkan Mei untuk angkat bicara. Akan kubiarkan ia terlarut, terombang-ambing, dan tenggelam dalam semestanya sendiri. Akan kubiarkan ia merangkai kembali semua ingatan tentang waktu, ruang, dan momentum yang pernah menjadi bagian paling mendominasi dari dirinya satu tahun yang lalu.
Well, selamat menikmati kata demi katanya dan selamat datang kembali di sekuel ketiga: Cerita Mei.
---
[Sekuel 3: Cerita Mei.]
Sesuai janji di bulan April, hari ini akan kubiarkan Mei untuk angkat bicara. Akan kubiarkan ia terlarut, terombang-ambing, dan tenggelam dalam semestanya sendiri. Akan kubiarkan ia merangkai kembali semua ingatan tentang waktu, ruang, dan momentum yang pernah menjadi bagian paling mendominasi dari dirinya satu tahun yang lalu.
Mulai detik ini, akan kuberikan dia
kesempatan untuk menceritakan semua kisah itu kepadamu; Perihal gurau yang
ternyata bukan candaan, perihal perasaan yang terlampau buta, perihal
kebersamaan dan kepemilikan yang dirasa abadi padahal tidak.
"Perihal kamu dan aku yang pernah jadi dua manusia paling bahagia di bumi sebelum tiba saatnya untuk menjadi manusia paling hancur di alam semesta."
"Perihal kamu dan aku yang pernah jadi dua manusia paling bahagia di bumi sebelum tiba saatnya untuk menjadi manusia paling hancur di alam semesta."
Mei adalah ceritaku, ceritamu,
sebuah kompilasi cerita yang berantakan dan nggak terurut tapi menyenangkan untuk dikenang. Mei adalah tentang bagaimana kita bisa menemukan rasa baru setelah menggabungkan dua racikan jadi satu.
Ini cerita kita yang paling manis, paling riang, paling lucu dan kekanak-kanakan juga cerita yang paling nggak seharusnya dibuang dan dihancurkan oleh memorimu di tahun dua ribu sembilan belas.
Ini cerita kita yang paling manis, paling riang, paling lucu dan kekanak-kanakan juga cerita yang paling nggak seharusnya dibuang dan dihancurkan oleh memorimu di tahun dua ribu sembilan belas.
---
Kalau kisah April sebelumnya diawali oleh
percikan rasa nyaman dan penasaran yang membuatku hampir gila, cerita Mei setahun yang lalu diawali oleh rasa
hangat persahabatan dan pertanyaan konyol yang blak-blakan.
Semuanya bermula dari sebuah diskusi santai ketika lengkung awan dan semburat senja sedang bagus-bagusnya menciptakan kolaborasi yang pas di langit timur Bandung. Di rumah kedua kita.
Semuanya bermula dari sebuah diskusi santai ketika lengkung awan dan semburat senja sedang bagus-bagusnya menciptakan kolaborasi yang pas di langit timur Bandung. Di rumah kedua kita.
Aku masih
ingat waktu itu hari Rabu, tepat pada tanggal satu di bulan Mei satu tahun yang
lalu.
Sore itu, aku duduk di sebelahnya karena
semua orang juga tahu bahwa tempat itu hanyalah satu-satunya milikku--pada saat itu. Meskipun
membosankan, aku ikut menyimak dan menikmati alur obrolan orang-orang yang berkumpul
sambil mengelilingi sebuah meja bundar di dekat pintu masuk.
Ada sesuatu yang baru kusadari setelah sudah berpuluh-puluh hari menghabiskan banyak waktuku dengan Mar. Semakin kesini, aku semakin sadar bahwa ada yang berbeda dari sikapku yang nggak seperti biasanya: aku jadi sering diam dan nggak banyak bicara. Entah karena terlalu canggung atau berusaha agar nggak terlihat canggung, tapi aku justru malah merasa seperti sedang memerankan orang lain dan itu amat sangat membuat segalanya tampak lebih canggung lagi.
Mei mungkin sudah menjadikanku buta, tuli, dan bisu.
Ada sesuatu yang baru kusadari setelah sudah berpuluh-puluh hari menghabiskan banyak waktuku dengan Mar. Semakin kesini, aku semakin sadar bahwa ada yang berbeda dari sikapku yang nggak seperti biasanya: aku jadi sering diam dan nggak banyak bicara. Entah karena terlalu canggung atau berusaha agar nggak terlihat canggung, tapi aku justru malah merasa seperti sedang memerankan orang lain dan itu amat sangat membuat segalanya tampak lebih canggung lagi.
Mei mungkin sudah menjadikanku buta, tuli, dan bisu.
Aku sadar kalau bersama Mar
aku nggak akan pernah bisa jadi diriku sendiri dan bodohnya aku tetap merasa baik-baik
saja dengan semua kebohongan itu. Aku tahu jika pada dasarnya kami memang nggak bisa cocok
satu sama lain, namun perasaan yang ada terus membuatku berpura-pura
seolah-olah semua hal di dunia ini memang diciptakan untuk bisa saling tepat.
Padahal sudah jelas teorinya nggak gitu.
Mei nggak banyak melibatkan
logikanya untuk mengurusiku. Dia lebih banyak mengandalkan rasa sampai pada akhirnya aku lupa
caranya membedakan mana yang sungguh dan mana yang sekadar singgah, mana
harapan yang nyata dan mana mimpi-mimpi yang semu.
Mei membuatku terlena, mengenalkanku pada indah birunya langit sampai aku lupa pada pahit cokelatnya tanah. Dia membiarkan semuanya berjalan mulus sesuai anganku sampai aku nggak tahu kapan waktunya aku harus berhenti menyelam agar nggak jatuh padanya terlalu dalam.
Tapi nyatanya sekarang sudah terlambat,
bukan?
Cerita Mei nggak akan pernah
ada seandainya waktu itu semesta nggak menakdirkan kita untuk ikut les tambahan
matematika.
Kita nggak perlu sering bertemu, kita nggak akan pernah mencoba untuk
saling mengorbankan rasa atau sampai bertengkar karena ego masing-masing. Dan yang terpenting, nggak
akan pernah ada pemeran utama bernama Mar dalam lembaran ceritaku untuk selama-lamanya.
---
-Komitmen
Bulan Mei tahun dua ribu sembilan belas
diawali oleh celetukan aneh seseorang yang baru kukenal nggak sampai sebulan. Lalu malam harinya, sambil pakai helm di parkiran, kamu mengeluh soal sikapnya yang blak blakan itu padaku. Masih ingat, Mar?
Waktu itu dia bilang hubungan kita lebih terlihat seperti kakak adik ketimbang dua remaja yang lagi saling menggantungkan harap.
Kamu ingat ekspresi wajahnya saat dia bertanya kepada kita soal komitmen? Mulutnya tersenyum lebar
seperti bulan sabit, tatapan matanya berbinar-binar seolah-olah sudah nggak
sabar ingin menjodohkan kita saat itu juga. Hahaha, jangan salahkan cara
bicaranya yang blak blakan, Mar. Kukira itu memang gayanya dan kutahu maksud dia sebenarnya baik.
Tapi jika boleh berkata jujur, pertanyaannya yang terkesan main main itu sama sekali nggak terdengar seperti candaan di telingaku.
Tapi jika boleh berkata jujur, pertanyaannya yang terkesan main main itu sama sekali nggak terdengar seperti candaan di telingaku.
Hanya karena seseorang
melakukannya sambil tertawa, apakah itu berarti dia sedang melucu?
Nggak begitu, kan.
---
Komitmen, ya.
Entahlah.. ini pertama kalinya
aku ditanyai pertanyaan serius dengan sebercanda ini. Aku nggak begitu paham
soal istilah-istilah seperti itu dan aku juga nggak yakin kamu mengerti arti
dari komitmen yang dia maksud.
Tapi, coba kita lihat dari
sisi baiknya.
Secara nggak sengaja,
pertanyaannya di hari itu sudah membuka kesempatanku untuk bisa membaca
perasaanmu yang nggak pernah bisa kuintip selama ini karena kamu nggak pernah
menunjukkannya pada siapapun. Disadari atau nggak, pertanyaan konyol yang dia
lontarkan waktu itu sudah memberikan secercah harapan untukku. Dan aku amat
sangat ingin tahu kelanjutannya.
Aku ingin tahu jawabanmu, Mar.
Karena jujur saja, jika boleh kuakui, sore itu aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa padanya.
"Iya? Tidak? Tidak tahu?"
"Iya? Tidak? Tidak tahu?"
Selama ini aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah memang ada sesuatu yang
berbeda dengan kita atau semua ini cuma perasaanku saja?
Aku takut untuk menambatkan harap terlalu dalam, takut untuk menerima kenyataan jika ternyata realita yang ada nggak sejalan dengan apa yang kuimpikan.
Aku takut jika semesta memisahkan kita saat sedang dalam kondisi sangat ingin saling memiliki, aku takut jika hadirmu ternyata cuma sekadar kunjungan singkat yang nggak membawa oleh-oleh apapun selain luka.
Namun, kemudian pertanyaan yang kusimpan sendirian itu sepertinya sudah mendapatkan jawabannya setelah mendengar satu kalimat pendek yang keluar dari mulutmu sambil melempar pandang ke arahku. Pandangan yang tajam dan dalam. Pandangan seorang Mar.
Karena jujur saja aku takut,
Mar.
Aku begitu takut untuk
berasumsi dan menyimpulkan sesuatu yang bahkan aku sendiri nggak tahu nyata atau
tidaknya.
Aku takut untuk menambatkan harap terlalu dalam, takut untuk menerima kenyataan jika ternyata realita yang ada nggak sejalan dengan apa yang kuimpikan.
Aku takut jika semesta memisahkan kita saat sedang dalam kondisi sangat ingin saling memiliki, aku takut jika hadirmu ternyata cuma sekadar kunjungan singkat yang nggak membawa oleh-oleh apapun selain luka.
Namun, kemudian pertanyaan yang kusimpan sendirian itu sepertinya sudah mendapatkan jawabannya setelah mendengar satu kalimat pendek yang keluar dari mulutmu sambil melempar pandang ke arahku. Pandangan yang tajam dan dalam. Pandangan seorang Mar.
“Ah, nggak. Komitmen apa? Memangnya
kamu pernah berharap padaku? Nggak, kan.”
Begitu.
Begitu caramu menjawab waktu itu. Menjawab sebuah pertanyaan dengan pertanyaan baru lalu menjawabnya sendiri. Bodoh.
Saat itu nggak ada yang bisa aku lakukan selain memandangimu sambil tersenyum canggung. Aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa karena nada bicaramu cepat sekali. Tapi kalau boleh berkata jujur, berani
sekali kamu menegaskan kata ‘nggak’ saat pertanyaan yang kamu lontarkan padaku itu belum sempat kujawab? Apa hakmu untuk berkata ‘nggak’ padahal aku belum sempat mengemukakan pendapatku sendiri?
Meskipun sudah terlambat, dan karena aku tahu bahwa nggak akan ada kesempatan lain lagi untuk bicara padamu, jadi harus kuakui sekarang bahwa pernyataanmu di hari itu sebenarnya salah.
"Ya. Aku berharap. Aku sudah terlanjur menggantungkan satu-satunya harapanku di genggamanmu dengan sepenuh-penuhnya harap, Mar. Aku yang bodoh karena sudah menunggu sesabar itu, kalau kalau suatu saat kamu akan segera sadar bahwa aku sedang bertaruh rasaku padamu.
Ya, aku pernah. Aku pernah berharap padamu sedalam itu tanpa sempat mengira kalau pilihan itu akan berujung jadi kesalahan yang akan mematahkan semua asaku di masa depan."
Kamu seperti nggak senang berlama-lama ditanyai tentang
kita, jadi kamu cepat-cepat mengakhirinya dengan caramu sendiri. Bukan begitu, Mar?
Sudahlah. Lagipula ini kan juga sudah
jadi cerita lama. Nggak peduli seberapa bagus aku merangkai kata, toh situasinya nggak akan pernah berubah.
Hanya saja nggak pernah kusangka kalau pembicaraan
kita di permulaan Mei kala itu justru akan jadi permulaan yang bagus untuk menyambut tiga
puluh hari ke depan.
Semesta seperti sangat mengerti kita, ya. Ia paham betul harus
mengarahkan alur cerita ini ke mana. Mei tahun dua ribu sembilan belas juga seperti sangat menyayangiku,
dia mengabulkan hampir semua harapan yang sudah kugantung sejak bulan April itu padamu.
Singkat cerita, entah bagaimana, aku merasa seperti nggak lagi berharap sendirian. Mungkin itu yang orang-orang sebut karma selama ini. Kamu akan mendapatkan balasan dari apa yang sudah kamu perbuat.
Karena seberapa kuat pun kamu menyangkal, kamu nggak akan pernah bisa membohongi perasaanmu sendiri.
Setelah hari itu, bersama dengan Mar, aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia setengah malaikat. Manusia yang bisa terbang setinggi elang, sejauh dara, menembus semua lapisan atmosfer
dengan kecepatan cahaya tanpa butuh bantuan sayap merpati atau roket delta.
"Cuma butuh manusia bernama Mar, dan perasaan sialan ini sudah bisa dipastikan melejit sampai ke bulan."
---
—Cerita Meja
Bundar
Kamu ingat meja kayu bundar yang biasa
jadi tempat favorit kita bertukar ide? Nggak hanya ide sih, kita hampir saling
bertukar semuanya di hadapan meja itu. Bertukar opini, bertukar pikiran, bertukar
ego dan cerita.. sampai bertukar perasaan kita lakukan semuanya di sana.
Itu adalah tempat kita mengeluh soal hujan
yang tak kunjung reda sampai matahari lelah untuk bersinar dan akhirnya membenamkan diri di balik bangunan pertokoan.
Itu adalah tempat kita biasa memperdebatkan
hal-hal kecil seperti, "Mau pulang jam
berapa?" atau "Bukan begitu caranya, harusnya pakai rumus yang ini." hingga
membahas isu-isu dunia yang berat dan kontroversial (yang sebenarnya aku nggak
begitu paham, tapi karena kamu menikmati alur pembicaraannya jadi ya sudah.)
Selebihnya, meja bundar itu menyimpan
banyak ceritanya sendiri. Cerita-cerita Mei yang selalu dia simpan sendirian
tanpa pernah bisa diceritakan ulang pada siapapun. Rahasia-rahasia rumit,
kabar-kabar baik, berita-berita buruk. Cerita perjalanan kita sedari awal bersua
hingga kemarin dirasa telah usai, dia tahu semuanya.
Kamu tahu, Mar?
Setelah sekian lama aku
pikir semuanya sudah berakhir, aku pergi mengunjunginya sesekali lalu duduk di
sana dengan membawa banyak amarah dan cerita sedih tentangmu. Aku mengeluh dan
mengadu, tentang ini dan itu, menyalahkan kamu dan diriku sendiri karena sudah gagal
mempertahankan pondasi yang baru kita bangun sama sama itu.
Iya, meja itu tahu tentang segalanya, Mar.
Dia lebih tahu tentang aku dibandingkan apa yang selama ini kamu kira kamu tahu lebih banyak.
Kamu pernah melihatku menggerutu atau ekspresi marahku? Atau kamu pernah melihat mataku sayu dan berkaca-kaca? Nggak pernah, kan. Jelas nggak pernah karena aku memang nggak pernah bisa marah di depanmu, bahkan untuk mengeluh saja rasanya sudah susah payah.
Kamu pernah melihatku menggerutu atau ekspresi marahku? Atau kamu pernah melihat mataku sayu dan berkaca-kaca? Nggak pernah, kan. Jelas nggak pernah karena aku memang nggak pernah bisa marah di depanmu, bahkan untuk mengeluh saja rasanya sudah susah payah.
Tapi meja
itu pernah, Mar. Dia tahu aku orangnya penggerutu, dia tahu aku tukang ngomel dan
dia juga tahu kalau air mataku yang jatuh saat menceritakan semua tentang perlakuanmu itu rasanya asin.
Dan nggak cuma sekali dua kali begitu. Bahkan saat waktu itu kita hanya duduk berhadapan tanpa menyuarakan sepatah kata pun, meja kayu bundar itu sudah tahu apa yang benar-benar kita inginkan.
Dan nggak cuma sekali dua kali begitu. Bahkan saat waktu itu kita hanya duduk berhadapan tanpa menyuarakan sepatah kata pun, meja kayu bundar itu sudah tahu apa yang benar-benar kita inginkan.
Sampai satu tahun yang lalu, meja itu
adalah saksi bisu atas semua untaian cerita dan janji-janji abadi yang selalu kamu
ucap dengan penuh percaya diri di depan wajahku. Andaikan waktu itu aku sudah lebih
pintar, Mar. Harusnya aku tidak usah terlalu senang mendengar semua ucap katamu karena kamu toh nggak akan pernah
benar-benar berniat ingin mengabulkannya, kan?
Meja kayu itu adalah saksi bisu dari setiap
remahan kue cokelat yang biasa menjadi teman berbincang kita sambil mengerjakan
soal latihan bahasa Inggris, juga saksi bisu atas hoodie abu-abu dan kemeja
katun merah muda yang pernah mencoba untuk saling menggapai tapi nggak pernah kesampaian di bulan Mei.
Andai dia punya rasa, Mar, mungkin meja
itu sudah senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku bodoh dua orang manusia
yang sedang dibuat bingung sama perasaannya masing-masing sedari April.
Lalu dia akan
tepuk tangan keras-keras saat berhasil mendengar kabar bahwa mereka akhirnya bisa berjalan
bersama di atas bunga-bunga cantik yang sedang mekar di awal Mei.
Dan nggak
menutup kemungkinan kalau dia juga akan ikut berbelasungkawa setelah tahu bahwa
cerita paling manis di dalam sejarah itu harus terpaksa disudahi karena asanya gantung diri.
Mengenaskan sih, tapi mau bagaimana lagi.
Kalau dipikir-pikir lagi, cuma ada satu
kata yang terlintas di dalam benakku detik ini.
Kasihan.
Kasihan karena dia harus tahu semua alur
dan jalan cerita yang nggak pernah disangka-sangka kalo endingnya bakal jadi seberantakan itu.
Kasihan karena dia harus
menyaksikan semuanya sendirian tanpa pernah bisa membantu manusia-manusia itu memperbaiki
keadaan.
Andai meja bundar itu diberi rasa, Mar.
Dia pasti sudah jadi benda paling menderita di dunia.
---
Bicara soal Mei sudah pasti nggak akan
jauh dari cerita dan momen yang terjadi di bulan ramadan. Iya, tahun lalu juga kita puasa di bulan Mei, kan?
Entah cuma kebetulan atau memang semesta sudah menakdirkannya begitu, tapi perasaanku justru tumbuh semakin besar seiring dengan jumlah pesan selamat berbuka yang kamu krimkan lewat ponsel kala itu. Simpel sih, tapi berbekas.
Dengan banyaknya pesan yang kamu kirim, aku jadi berasumsi bahwa kamu juga merasakan hal serupa dengan apa yang kucita-citakan. Aku begitu naif dan bodoh karena sudah mengukur rasa yang keberadaannya jelas terpampang nyata hanya dari teks virtual dan jumlah jam menelepon kita yang bisa saja dimanipulasi atau nggak dibubuhkan oleh perasaan apapun.
Tapi, kalau bukan dari situ, darimana lagi aku harus mengukur perasaanmu?
Sudah aku bilang sebelumnya bahwa aku nggak pernah diberi kesempatan untuk tahu apa yang kamu rasakan. Bahkan ekspresi wajahmu sekalipun. Ekspresi wajahmu sama sekali nggak merefleksikan apa yang sebenarnya kamu rasakan, Mar. Ekspresimu datar saat sebenarnya kamu kesal karena sudah menungguku lama. Ekspresimu datar saat sebenarnya kamu menyukai perjalanan malam yang singkat saat mengantarkanku pulang. Ekspresimu datar datar saja saat seharusnya kamu merasa menyesal karena sudah membuat kita bertengkar gara-gara kesalahpahaman yang kamu ciptakan sendiri.
Kamu harus tahu itu, Mar.. Sulit untuk menerka saat sikap dan kerut wajahmu sama sekali nggak bisa kuterka. Aku bilang begini karena aku cuma nggak ingin orang lain jadi salah paham hanya karena kamu nggak bisa menunjukkan perasaanmu yang sesungguhnya sama mereka.
Kamu harus tahu itu, Mar.. Sulit untuk menerka saat sikap dan kerut wajahmu sama sekali nggak bisa kuterka. Aku bilang begini karena aku cuma nggak ingin orang lain jadi salah paham hanya karena kamu nggak bisa menunjukkan perasaanmu yang sesungguhnya sama mereka.
---
Waktu itu tepat di hari ke-7
Ramadan, saat kita diundang ke acara kumpul kumpul di rumah salah seorang teman. Kamu pakai baju batik dan skinny jeans kesukaanmu di hari itu. Biasa saja sih, kemeja
batik nggak membuatmu jadi terlihat seperti pangeran berkuda putih atau bagaimana. Kamu tetap Mar yang expressionless.
Hari itu, kita duduk dengan bosan sambil main 2048 di depan teras rumah yang sepi
karena penghuninya nggak kunjung pulang.
2048 adalah permainan yang paling
membosankan di dunia, tapi anehnya kita sama sama suka. Kamu unik, Mar. Kamu unik
karena lebih memilih 2048 yang sesederhana itu dibandingkan permainan PUBG atau
ML seperti kebanyakan anak laki-laki pada umumnya.
Jam sudah menunjukkan pukul
setengah lima sore dan aku masih ingat waktu itu kamu belum shalat ashar.
Bersyukurlah karena kita nggak dilahirkan di keluarga yang sama karena pasti sudah
habis kupukuli jika kamu adalah adikku dan nggak melaksanakan ibadah tepat
waktu.
Intinya, hari itu adalah salah satu
hari paling menyenangkan di bulan Mei karena kita banyak menghabiskan waktu
dengan teman-teman yang lucu dan mengasyikkan.
Tapi semenyenangkan apa pun hari itu, aku tetap nggak bisa terlalu berenang-senang.
Seperti yang sudah kukatakan
di awal, keberadaanmu selalu membuatku harus berperan selayaknya orang lain. Aku nggak benar-benar 'aku' di hari itu, di hari sebelumnya, dan juga di setiap hari kita bertemu.
Maaf karena baru sempat kukatakan sekarang tapi kamu nggak pernah benar-benar mengenalku, Mar.
Ibarat sebuah sekat yang
memabukkan, kamu terus membuatku jadi manusia terbatas yang begitu mencintai kepura-puraannya.
Kamu membuatku mengalihkan semua rasa dan konsentrasiku padamu sampai aku nggak
bisa lagi mengendalikan emosi dan logikaku sendiri.
Ini yang selalu membuatku bertanya-tanya.
Apakah perasaan sialan ini memang semembutakan ini?
Dan rupanya Mei memang candu, ya. Aku nggak pernah mengira bahwa kita akan jadi secandu ini sebelumnya.
Nggak terhitung sudah berapa banyak topik obrolan
yang kita buat setiap harinya. Nggak terkira ada berapa ratus menit yang
berlalu saat kupingku harus menempel di layar ponsel demi mendengar kabar dan
petikan gitarmu sebelum pamit ke peraduan. Serta nggak bisa kurincikan ada berapa
ratus juta rasa yang sudah kita bagi dengan penuh suka tanpa pernah sekalipun
terpikir jika pada akhirnya kita hanya akan saling menyakiti.
Aku masih ingat, di suatu pembicaraan pagi kita di telepon, kamu pernah bilang begini,
Kamu pasti bercanda, kan!
Aku tahu niatmu cuma bercanda meskipun
nada bicaramu sama sekali nggak menunjukkan kalau itu sekadar omong kosong yang dibuat-buat.
Kata-katamu yang barusan sungguh nggak masuk akal, Mar. Seluruh jiwa dan alam
sadarku pada saat itu menolak mentah-mentah semua perkataan yang baru saja kudengar.
Rasanya kesal sekali karena harus mendengar celetukan yang nggak jelas itu dari mulutmu.
Setelah telepon dimatikan, saat itu juga
aku tenggelam dalam kolam imajinasi yang kubuat sendiri. Bertanya-tanya soal
kemungkinan-kemungkinan tragis yang bisa mencampuri urusan kita kapan saja.
Seperti katamu, Mar. Itu hanyalah satu
dari berjuta kemungkinan yang sifatnya fifty-fifty. Perihal akan terjadi
atau nggaknya, itu sudah diluar batas kendali kita. Memang benar bahwa nggak
ada hal yang nggak mungkin terjadi di dunia ini, apalagi kamu adalah penganut keyakinan bahwa akan selalu ada 1001 kemungkinan yang mungkin saja terjadi dalam 1
macam kejadian.
"nggak menutup kemungkinan.." adalah kalimat favoritmu.
Selama mengenalmu, disadari atau nggak kamu hampir selalu mengatakan kalimat andalanmu itu di setiap perdebatan yang kita lakukan. Memang terkadang kemungkinan-kemungkinan yang kamu utarakan itu bisa membuatku jadi lebih tenang, tapi nggak jarang juga aku dibuat resah dan takut oleh segala kemungkinan pahit yang harus diloloskan dari mulutmu.
Tetap saja. Walaupun pada kenyataannya memang mungkin terjadi, rasanya nggak terima jika
harus mendengar kata pisah di saat kondisi kita sedang sedekat
nadi.
Kamu tahu apa yang selalu kupikirkan selama ini?
Ketika kamu menyatakan kemungkinan berpisah, seakan-akan kamu memang sudah punya rencana untuk nggak akan menemuiku lagi.
Ketika kamu menyatakan adanya kemungkinan
untuk bertemu orang baru yang bisa membuat kita lebih nyaman, seakan-akan kamu
memang nggak pernah bersungguh-sungguh dengan perasaan yang kamu bagi selama
ini.
Andai pada saat itu aku sudah nggak senaif
dulu, pasti semua kata yang keluar dari mulutmu sudah jadi bahan pertimbanganku
jauh sebelum semuanya jadi sekompleks ini. Andai pada saat itu aku sudah tahu lebih
banyak, pasti aku akan kembali berpikir dua kali untuk tetap menenggelamkan
hati atau melepaskan hati.
Hingga pada akhirnya Mei mulai membuatku
berpikir.
"Apakah perasaan yang begitu berharga saat ini.. bisa jadi nggak berarti apa-apa lagi di kemudian hari?"
---
Hai, Mar. Hari ini aku mau cerita padamu
soal Na. Aku yakin kamu sudah pernah lihat dia, kalian bahkan satu sekolah
selama tiga tahun terakhir. Tapi sudah bisa kutebak sih, kamu pasti nggak
mengenalnya, kan?
Na adalah sahabatku sejak kurang lebih 10
tahun yang lalu. Anaknya cenderung pendiam dan dia nggak suka sayuran. Tapi dua
hal yang kusuka darinya adalah perlakuannya yang sangat dewasa dan sikapnya
yang nggak bisa bohong pada perasaannya sendiri. Dia juga sudah pintar
pelajaran eksak dan hitung-hitungan sedari kecil, agak mirip denganmu.
Waktu itu, di pertengahan Mei satu tahun yang lalu, aku mengajak Na ke toko swalayan untuk membeli bahan-bahan membuat kejutan yang sudah kurancang sedemikian rupa sebelum hari raya. Rencananya aku ingin langsung memberikannya padamu tanpa harus lewat perantara apapun, tapi sayang sekali pada saat itu aku harus sudah nggak di Bandung. Mei menguji kita dengan jarak. Selama beberapa minggu, kita harus terpisah sejauh 887 kilometer dan itu membuatku nggak bersemangat.
Benar, tahun lalu kamu sudah menerima paket pemberianku, kan? Aku mengirimkannya padamu lewat Na. Sebab pada situasi apapun, memang cuma dia yang bisa kuandalkan. Na, jika suatu hari kamu nggak sengaja membaca paragraf ini, aku ingin kamu tahu bahwa kalimat terima kasihku kala itu nggak akan pernah cukup. Sudah satu tahun berlalu sejak kita membuat kejutan itu bersama-sama di kamarmu, terima kasih karena sudah selalu mau mendukung ide-ide gilaku. Kamu yang terbaik!
Di kamar Na pada tanggal 21 Mei 2019, aku
menceritakan semuanya pada Na. Perihal perasaanku pada Mar yang kian bertumbuh.
Perihal perasaan Mar padaku yang selayaknya gayung bersambut. Aku merasa sudah
jadi manusia paling Bahagia dengan segala kasih dan suka yang mengitariku di
bulan Mei.
Pada saat yang sama, Na membagikanku soal
ceritanya dengan Han, laki-laki yang sudah membuatnya menghabiskan
bermalam-malam penuh derita. Padahal, sampai beberapa bulan yang lalu, kisah
perjalanan mereka sempat membuatku iri karena terlampau menggemaskan.
Mengapa cerita yang semula indah lagi-lagi harus berakhir dengan hati yang patah?
Pada sangkaku, cerita milikku dan Mar nggak
akan pernah mungkin akan berakhir seperti Na. Omong kosong jika itu benaran
terjadi karena pada saat itu hubunganku dan Mar bisa dibilang sedang berada pada
puncak kurva kesempurnaan yang bahkan badai sekalipun nggak bisa memporak
porandakan kami.
Tapi yang dikatakan Na pada hari itu
justru sebaliknya. Menurutnya, apa yang sedang kualami saat itu hanyalah fase
awal dari sebuah ‘siklus laknat’ cerita asmara karena di mana ada kebahagiaan,
di situ pula akan selalu ada setumpuk masalah yang menunggu.
"Nggak, Na. Bagaimana mungkin kami akan berpisah? Aku dan Mar saling menyukai."
"Memangnya kamu pikir aku dan Han sebelumnya tidak?"
Mendengar itu, aku terdiam. Aku terdiam
karena waktu itu Na sudah terlihat hampir menangis setelah banyak menceritakan
kejadian yang dialaminya dengan Han beberapa waktu lalu.
"Cepat atau lambat hari-hari seperti itu memang akan datang, Say. Mau bagaimana pun kamu menghindarinya. Persiapkan saja fisik dan mentalmu karena bakal banyak menangis seharian. Seperti aku.
Hari ini mungkin perasaan kalian adalah yang terindah, tapi kita nggak tahu apa yang terjadi besok, lusa, satu bulan, dua bulan, atau satu tahun ke depan. Siapa yang menjamin bahwa perasaan kalian akan tetap sama?"
Aku terdiam untuk entah yang keberapa
kalinya. Rasanya seperti sedang dimarahi ibu. Kalau dipikir lagi, kenapa
kata-katanya begitu masuk akal?
Na.. lagi-lagi semua orang bicara tentang
kemungkinan-kemungkinan terpahit di dunia. Nggak bisa kusanggah karena memang
nggak ada katamu yang salah. Kalian berdua benar, Mar dan juga Na. Nggak ada
hal yang benar-benar abadi di dunia ini. Bahkan, perasaan yang saat ini begitu
diagung-agungkan bisa jadi cuma seonggok ingatan tak berguna di kemudian hari.
"Hati manusia itu memang mudah berubah, Say. Itulah kenapa orang yang setia susah dicari."
"Dan apa kamu pikir Mar orang yang setia?"
Tapi Na menggeleng.
"Nggak.
Nggak tahu sampai dia yang membuktikannya sendiri padamu."
---
Begitulah Mei dua ribu sembilan belas menjamuku
selayaknya tamu. Pertemuan kami selama tiga puluh hari itu harus terpaksa disudahi
dengan menyisakan banyak kenangan manis serta janji-janji lama yang nggak
pernah sempat terpenuhi.
Lalu Mei mengharuskanku pergi di
penghujung ceritanya. Pergi begitu jauh meninggalkan Bandung dan Mar. Pergi
membawa potongan-potongan Cerita Mei dan kemungkinan-kemungkinan pahit yang terus
menghantuiku seperti mimpi buruk.
Aku pergi meninggalkan Bandung,
meninggalkan Mar, meninggalkan semua cerita yang ada di bulan Mei tanpa pernah
tahu bahwa Juni sudah siap menyambutku dengan cara berbeda.
Persiapkan tisumu dari sekarang, karena aku yakin akan ada lebih banyak air mata di dua bulan ke depan.
Kalau begitu, episode kali ini biar aku cukupkan sampai
di sini, ya.
Sampai bertemu kembali di sekuel keempat: Perihal
Juni.[]
-----------------------------------------------
In case you missed it:
-----------------------------------------------
In case you missed it:
Sedih sebentar aja ya, justru "siklus" itu yg bikin kamu kuat:)
ReplyDeleteTrimakasi ya🥳
DeleteBingung
ReplyDeleteSama
DeleteApril dan Mei meninggalkan sejuta kenangan, semoga Juni mampu menyambung asa masa depan yang hampir terputus
ReplyDeleteJuni hobi kasih surprise, tunggu sj bulan depan
DeleteJadi flashback:(
ReplyDeleteGapapa. Masa lalu diungkit bukan untuk diulang, tapi dievaluasi
ReplyDelete