“Kalau Maret ibarat pagar besi di depan rumahku, April
adalah anak anak tangga yang menuntunmu untuk sampai ke depan pintunya.
Pilihanmu cuma dua, Mar."
“Apa?”
“Mengetuk pintunya sekarang..
.. Atau kembali menutup pagar dan jangan pernah datang
lagi.”
-Soal April.
Ini dia, selamat datang di episode kedua dari serangkaian
cerita paling chaos yang banyak
meninggalkan jejak pelajaran di sisa-sisa umur ketujuh belas. Ya, episode kali ini bakal mengacak-acak memori kita tentang April tahun dua ribu sembilan belas: Bulan yang sejak tahun lalu sudah sering diguyur air hujan dan
ditemani oleh awan mendung kemana-mana.
Pernah waktu itu aku tanya,
"Kenapa hari ini harus hujan lagi, Ril? Nggak capek apa?"
Tapi April cuma kasih senyum. Dia malu, katanya butir-butir hujan yang ia kirim dari langit itu sebenarnya adalah pertanda bahagia dan serangkaian doa paling indah yang dia punya.
"Doa untuk siapa?"
Aku bertanya lagi, waktu itu hujan lagi deras-derasnya menampar tanah di pinggiran Kota Bandung. April lagi-lagi cuma bisa senyum, tapi kali ini ekspresinya lebih sungguh. Sayup-sayup aku dengar suaranya yang hampir nggak bersuara itu, tersamarkan oleh bunyi hujan yang kian tumpah di sepanjang jalan.
"Kenapa hari ini harus hujan lagi, Ril? Nggak capek apa?"
Tapi April cuma kasih senyum. Dia malu, katanya butir-butir hujan yang ia kirim dari langit itu sebenarnya adalah pertanda bahagia dan serangkaian doa paling indah yang dia punya.
"Doa untuk siapa?"
Aku bertanya lagi, waktu itu hujan lagi deras-derasnya menampar tanah di pinggiran Kota Bandung. April lagi-lagi cuma bisa senyum, tapi kali ini ekspresinya lebih sungguh. Sayup-sayup aku dengar suaranya yang hampir nggak bersuara itu, tersamarkan oleh bunyi hujan yang kian tumpah di sepanjang jalan.
"Untukmu," bisiknya, "dan untuk Mar."
---
Hari ini pun hujan turun lagi, ya.
Selamat datang kembali
untuk April yang hobi mendoakan dengan setiap jatuh rintiknya. Senang bisa
menyambutmu datang lagi setelah satu tahun lamanya kita nggak pernah saling tegur
sapa. :)
Gimana nih, kabarmu tahun sekarang? Senyum, dong! Aku janji akan selalu
jadi pengagum di jajaran terdepan setiap kali kamu mulai tersenyum meski harus bersembunyi di
balik payung. Rasanya, melihat kamu tersenyum lagi seperti itu, seolah-olah seluruh semesta sedang berpihak kepadaku
seperti halnya April yang lalu.
April, aku harap kamu dan kita semua baik-baik aja,
ya.
Sekacau-kacaunya dunia saat ini, semoga pikiran dan perasaan kita nggak
ikut-ikutan kacau juga. Pinter pinter menjaganya, ini perintah. Yang sakit semoga lekas sembuh, yang sehat semoga
tambah kuat. Hidup masih terlalu panjang untuk digantungi kata menyerah, masih ada Mei sampai Desember untuk kita
rampungkan semua kisahnya bareng-bareng.
"Be patient," Mar pernah bilang begitu dulu. "Everything’s gonna be better, Say. Just keep going."
"Be patient," Mar pernah bilang begitu dulu. "Everything’s gonna be better, Say. Just keep going."
Kalau boleh jujur, aku lebih rindu padamu ketimbang
sama Maret. Beneran, deh. Itu karena, bicara soal April, ada lebih banyak
kepingan memori yang pernah kita susun bareng-bareng jadi kepingan-kepingan baru. Kamu harusnya bisa ingat beberapa.. nggak semuanya juga gapapa.
Ibarat
dua keping puzzle yang berbeda, milikku dan milikmu, pernah sama sama kita
jadikan eksperimen percobaan di laboratorium bertajuk rasa. Iya, tanpa disadari kita pernah mencoba untuk saling menyatukan kepingan,
berharap untuk bisa menemukan bentuk kepingan lain yang tadinya aku sempat percaya
bahwa bentuk itulah yang paling benar.
Tapi, kita gagal.
Setelah dicoba berulang-ulang, ternyata memang nggak
ada yang cocok.
Setelah dievaluasi kenapa, ternyata bentuknya memang nggak pas aja.
Vertikal atau pun horizontal, terbalik atau pun
menyerong, kita udah coba segala cara untuk menyatukannya dari berbagai sisi. Tapi, kalau seandainya sedari awal dua kepingan itu memang dibuat bukan dengan tujuan untuk
bisa saling pasang, seharusnya kita juga tahu bahwa sedari awal kita
memang nggak diciptakan untuk bisa menyatu, kan?
Gapapa. Nggak ada yang harus disalahin.
Nggak ada satu pun yang harus
menanggung salah dalam cerita kita. Bahkan, potongan puzzle milikku dan milikmu,
memang sudah dari sananya begitu. Bentuknya memang nyeleneh, desainnya terlampau nggak sama. Nggak bisa kalo harus kita paksa biar jadi cocok. Nanti yang ada malah patah. Yang ada, malah jadi lebih parah.
Semesta memang sudah menakdirkannya begitu,
Mar.. kita bisa apa?
Pada April, terima kasih karena sudah menyuguhkan sederet
cerita paling manis yang nggak cuma bikin sakit gigi, tapi juga membutakan sampai ke
otak. Seperti halnya berstoples-stoples permen karet yang nggak pernah sekali
pun terpikirkan olehku bakal sepahit apa jadinya setelah gulanya habis, dan
bakal sesakit apa jadinya jika aku telan semua ampasnya sampai nyangkut di
tenggorokan.
Memang cuma manis di awal, karena setelah jadi pahit dan capek
dikunyah, permen karet pasti masuk tong sampah.
Kan?
---
Coba sekarang kamu intip ke luar jendela. Hujan, di sana?
Tadi sih, di rumahku hujan. Tapi nggak lama.
Memang nggak ada yang berubah ya,
sedari dulu. Bulan April selalu identik sama bunyi angin dan aroma air hujan yang khas. Tahun lalu juga hujan turun sederas
ini sampai semua pakaian dan sepatuku basah kuyup, lalu kakiku
lecet karena harus jalan kaki pakai sepatu yang kekecilan dari gerbang sekolah sampai ke lokasi, padahal
hari itu kita ada janji untuk bertemu. Berani taruhan, kamu pasti nggak ingat.
Tapi, kalau sungguh-sungguh ditanya apakah aku suka hujan, tentu aku suka.
Suka sekali. Sampai sampai, rasanya seperti ada yang kurang jika belum menghirup napas
dalam dalam untuk bisa membawa aroma petrikor itu merasuk pada relung damai di dalam sini.
Ah..
Lama kelamaan bunyi hujan ini mengusikku, Mar.
Memang benar kalo hujan nggak cuma datang di bulan April. Tapi, entah kenapa hujan di bulan April selalu membawa-bawa ingatan tentangmu di setiap ritme jatuhnya. Deru derasnya. Bau basahnya.
Apa pernah kamu berpikir? Bahwa semua air hujan yang
sedang kusaksikan di balik jendela saat ini, bisa jadi adalah hujan yang sama
dengan hujan yang pernah membuat kepala kita tertunduk malu, berlarian dengan
sepeda motormu dalam perjalanan singkat menuju rumah kedua kita satu tahun yang
lalu.
Atau pernahkah
kamu membayangkan? Jika hujan yang kulihat sore ini, bisa saja adalah
reinkarnasi dari hujan yang saat itu pernah membasahi aku yang tengah berdiri sendirian,
di pinggir jalan raya Jatinangor selepas ujian tulis seleksi masuk universitas,
menunggu bus pulang yang nggak kunjung datang.
Iya, waktu itu adalah hari di mana kita lagi sama-sama berjuang, meskipun tempatnya berjauhan.
Iya, waktu itu adalah hari di mana kita lagi sama-sama berjuang, meskipun tempatnya berjauhan.
Masih terekam jelas dalam memori, Mar. waktu itu
mood-ku lagi berantakan dan kepalaku rasanya mau meledak. Ujian seleksi ternyata nggak semudah itu.. Kamu juga paham sendiri. Ditambah nggak ada satu pun teman yang menemani, lalu hujan turun dengan lebat seperti biasanya, memercikkan bintik-bintik lumpur ke atas permukaan sepatu putih kesukaanku.
Rasanya mau menangis.
Tapi hari yang buruk itu nggak jadi buruk buruk amat karena ada bayang-bayang kamu.
Untuk namamu yang setia bermunculan di layar ponsel, untuk setiap katamu yang berusaha mewakili wujudmu yang di rumah, terima kasih untuk itu.
Tapi hari yang buruk itu nggak jadi buruk buruk amat karena ada bayang-bayang kamu.
Untuk namamu yang setia bermunculan di layar ponsel, untuk setiap katamu yang berusaha mewakili wujudmu yang di rumah, terima kasih untuk itu.
Hari itu, tepat hari Sabtu pukul 13.22 di depan trotoar bobrok dekat kios fotokopi, Mar. Aku cuma berharap, andai saja aku bisa
menemukan nyala matamu di sana. Ajaibnya, beberapa jam dari situ, aku benar-benar dipertemukan denganmu.
Entah bagaimana semesta mengaturnya, angan-angan yang sempat terasa mustahil itu bisa jadi nyata dalam sekali kejap. Doa-doaku seperti disatu gariskan dengan takdir. Rasanya seperti sesayang itu. Sesayang itu April pada orang yang cuma bisa meniupkan harapan dan menggerutu seperti aku. Kalo diingat-ingat lagi, kejadian di hari itu memang paling gokil, hahaha. Ada-ada aja ya, cara unik semesta untuk mempertemukan kita.
Mungkin kamu sudah lupa, jadi akan kuceritakan ulang. Begini ceritanya.
Setelah turun dari bus di sekitar bundaran Cibiru, aku yang lagi pusing setengah mampus itu cepat-cepat naik ke dalam angkutan umum yang diparkir berantakan. Waktu itu hujan udah reda. Karena buru-buru, aku nggak sempat melirik nama jurusan angkotnya. Pokoknya asal udah memastikan kalo warna mobilnya betul-betul hijau, aku langsung aja duduk di pojok paling belakang lalu memejamkan mata karena lelah.
Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Jujur, aku benci berada di situasi yang begitu ramai tapi sendirian.
Terus lucunya, begitu bangun dan mengintip ke luar jendela, aku merasa ada yang nggak beres. Ada pemandangan jalan raya dan apartemen yang seharusnya nggak akan pernah aku lihat kalo jalan itu memang benar menuju rumah. Bener-bener panik banget waktu itu, sampai bingung harus turun di mana. Hahahaha, mungkin efek samping UTBK, ya, jadi linglung. Pokoknya seumur-umur tinggal di Bandung, baru pertama kali itu deh aku salah naik jurusan angkot.
Terus entah gimana ceritanya, tiba-tiba aku mendarat di depan salah satu toko swalayan di pinggir Jalan Soekarno-Hatta. Gila, jauh banget nggak tuh. :( Dan dalam kondisi yang bener-bener panik kayak gitu, cuma Mar yang ada di dalam kepalaku. Mar jadi orang pertama yang tahu potongan cerita konyol ini dan juga satu-satunya sebelum akhirnya aku tulis semuanya di sini.
Tadinya aku cuma iseng menghubungi Mar untuk sekadar mengabari kebodohanku yang mungkin sudah diskenariokannya begitu, tapi di luar dugaan, dia langsung berlari padaku saat itu juga. Mar benar-benar datang, menjemputku dengan sepeda motornya itu. Padahal kalau dipikir-pikir, jarak dari rumahnya sampai ke tempatku sama jauhnya dengan ke rumahku.
Dasar April, kamu pasti sudah membutakan Mar, kan! Padahal dia sedang asyik-asyik rebahan di rumah tapi kamu membuatnya harus menyalakan motor dan bermacet-macet di jalan raya. Tapi terima kasih, ya. Aku jadi tahu rasanya ditolong oleh superhero itu seperti apa.. Oh. Aku nggak bilang Mar seperti superhero, cuma mungkin rasanya begini.
Kejadian hari itu, mungkin nggak akan pernah aku hapus dari memori, Mar. Mau sejauh apapun kamu sudah bertolak saat ini, aku nggak peduli. Biarkan saja yang seperti itu tetap di tempatnya, bercampur dengan potongan-potongan ingatan indah yang lainnya.
Entah bagaimana semesta mengaturnya, angan-angan yang sempat terasa mustahil itu bisa jadi nyata dalam sekali kejap. Doa-doaku seperti disatu gariskan dengan takdir. Rasanya seperti sesayang itu. Sesayang itu April pada orang yang cuma bisa meniupkan harapan dan menggerutu seperti aku. Kalo diingat-ingat lagi, kejadian di hari itu memang paling gokil, hahaha. Ada-ada aja ya, cara unik semesta untuk mempertemukan kita.
Mungkin kamu sudah lupa, jadi akan kuceritakan ulang. Begini ceritanya.
Setelah turun dari bus di sekitar bundaran Cibiru, aku yang lagi pusing setengah mampus itu cepat-cepat naik ke dalam angkutan umum yang diparkir berantakan. Waktu itu hujan udah reda. Karena buru-buru, aku nggak sempat melirik nama jurusan angkotnya. Pokoknya asal udah memastikan kalo warna mobilnya betul-betul hijau, aku langsung aja duduk di pojok paling belakang lalu memejamkan mata karena lelah.
Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Jujur, aku benci berada di situasi yang begitu ramai tapi sendirian.
Terus lucunya, begitu bangun dan mengintip ke luar jendela, aku merasa ada yang nggak beres. Ada pemandangan jalan raya dan apartemen yang seharusnya nggak akan pernah aku lihat kalo jalan itu memang benar menuju rumah. Bener-bener panik banget waktu itu, sampai bingung harus turun di mana. Hahahaha, mungkin efek samping UTBK, ya, jadi linglung. Pokoknya seumur-umur tinggal di Bandung, baru pertama kali itu deh aku salah naik jurusan angkot.
Terus entah gimana ceritanya, tiba-tiba aku mendarat di depan salah satu toko swalayan di pinggir Jalan Soekarno-Hatta. Gila, jauh banget nggak tuh. :( Dan dalam kondisi yang bener-bener panik kayak gitu, cuma Mar yang ada di dalam kepalaku. Mar jadi orang pertama yang tahu potongan cerita konyol ini dan juga satu-satunya sebelum akhirnya aku tulis semuanya di sini.
Tadinya aku cuma iseng menghubungi Mar untuk sekadar mengabari kebodohanku yang mungkin sudah diskenariokannya begitu, tapi di luar dugaan, dia langsung berlari padaku saat itu juga. Mar benar-benar datang, menjemputku dengan sepeda motornya itu. Padahal kalau dipikir-pikir, jarak dari rumahnya sampai ke tempatku sama jauhnya dengan ke rumahku.
Dasar April, kamu pasti sudah membutakan Mar, kan! Padahal dia sedang asyik-asyik rebahan di rumah tapi kamu membuatnya harus menyalakan motor dan bermacet-macet di jalan raya. Tapi terima kasih, ya. Aku jadi tahu rasanya ditolong oleh superhero itu seperti apa.. Oh. Aku nggak bilang Mar seperti superhero, cuma mungkin rasanya begini.
Kejadian hari itu, mungkin nggak akan pernah aku hapus dari memori, Mar. Mau sejauh apapun kamu sudah bertolak saat ini, aku nggak peduli. Biarkan saja yang seperti itu tetap di tempatnya, bercampur dengan potongan-potongan ingatan indah yang lainnya.
Iya. Mungkin April ada benarnya.
Terkadang hujan bisa
menjelma jadi doa doa indah,
juga rindu rindu yang dulu pernah indah.
---
Di tengah-tengah hiruk pikuk dunia, April tiba-tiba bertanya padaku. Mungkin terdengar iseng, tapi aku tahu sebenarnya nggak gitu.
“Sesuka itukah
kamu pada Mar?”
Dan mirisnya, sampai saat ini pertanyaan itu nggak pernah
aku gubris. Lebih tepatnya, aku nggak bisa menjawabnya. Bagaimana aku bisa menjawab kalau jawabannya
saja aku sendiri juga nggak tahu?
Begini, ya.
Begini, ya.
Dalam hidup, baru kali ini aku bertemu jenis
manusia yang seperti Mar. Cuek cuek santai, cenderung pendiam dan hobi
menyendiri tapi juga sangat ambisius, antusias bicara, dan kritis dalam satu waktu. Membingungkan? Iya. Sebagai tambahan, Mar juga hampir nggak berekspresi. Selama ini aku selalu meraba-raba apa yang dia rasakan; senang, sedih, terkejut, kecewa, atau marah. Raut wajahnya selalu sama kecuali saat dia tertawa. Ya, seperti itu. Seperti Mar. Karena itulah, terkadang bersama dia cuma bikin kita bingung. Sangat.
Dan sampai sejauh ini, belum pernah aku bertemu dengan laki-laki sekeras kepala dia.
Mar bukan tipe orang yang bisa dengan mudah terpengaruhi oleh argumen dan sudut pandang orang lain. Asal kamu tahu, logikanya di luar nalar. Hidupnya seakan-akan cuma tentang mengkritisi, menghitung rumus-rumus eksak, selalu memikirkan segala hal dengan serius dan menghubung-hubungkannya dengan logika mutlak. Keren, sih. Tapi kadang-kadang malah bikin kesel. Niatnya kita cuma bercanda, tapi malah disangkut pautkan sama teori A atau teori B. :(
Kalau mau diibaratkan, Mar adalah seratus persen anak IPA harga mati no tipu-tipu. Sedangkan aku? Sudah pasti seratus persen berjiwa IPS sejati, titik.
Kalau mau diibaratkan, Mar adalah seratus persen anak IPA harga mati no tipu-tipu. Sedangkan aku? Sudah pasti seratus persen berjiwa IPS sejati, titik.
Oh, iya. Mar juga tahu hampir segala topik yang kita
diskusikan. Bisa dibilang, pemikirannya jauh lebih luas dan lebih dalam daripada
kebanyakan orang di usianya. Seperti yang udah aku bilang, dia kritis. Dan itu adalah salah satu alasan yang bikin Mar jadi nggak sama dengan kebanyakan populasi teman laki-laki yang lain.
Kalau suatu saat bertemu Mar, coba saja tantang dia. Mau mengajaknya berdebat tentang apa? Isu-isu politik? Untung-rugi bisnis? Dari mulai sejarah penyerangan
Jepang di Laut Jawa sampai ke alur dan urutan cerita serial Marvel, dia tahu persis semua
detilnya. Gila nggak, tuh. Pokoknya, ngobrol sama Mar nggak pernah bikin kita nggak takjub, deh. Terkhusus untukku, ngobrol dengannya malah jadi candu. Hahaha.
Tapi, meskipun kedengarannya seseru itu, percaya nggak kalo kami sebenarnya ibarat dua
kutub magnet yang berbeda? Atau dua arah mata angin yang saling berlawanan, seperti tenggara dan barat laut misalnya?
Mau dilihat dari sisi mana pun, Mar dan aku memang
beda banget kecuali soal iman. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali.
Aku hobi baca, sedangkan Mar sama sekali nggak tertarik untuk bahkan mengeja judulnya. Dia saja lupa kapan terakhir kali baca buku. Menurutku, Mar adalah bukti nyata kalo anak pinter itu nggak harus selamanya diilustrasikan dengan orang yang suka baca buku-buku tebel, hobi mengisolasi diri di perpustakaan, atau pake kemeja rapi dan kacamataan. Seriusan, deh. Mar jauh banget dari image-image klasik kayak gitu. Waktu ditanya alesannya kenapa nggak suka baca, katanya nonton jauh lebih praktis.
Aku hobi baca, sedangkan Mar sama sekali nggak tertarik untuk bahkan mengeja judulnya. Dia saja lupa kapan terakhir kali baca buku. Menurutku, Mar adalah bukti nyata kalo anak pinter itu nggak harus selamanya diilustrasikan dengan orang yang suka baca buku-buku tebel, hobi mengisolasi diri di perpustakaan, atau pake kemeja rapi dan kacamataan. Seriusan, deh. Mar jauh banget dari image-image klasik kayak gitu. Waktu ditanya alesannya kenapa nggak suka baca, katanya nonton jauh lebih praktis.
“Buat apa sih, pusing-pusing meresapi tulisan berlembar-lembar kalo dengan nonton kita bisa lebih mudah nangkep inti ceritanya?”
"Bilang aja kamu mager, Mar."
"Bukan mager, tapi kalo ada cara yang lebih mudah ya kenapa harus ribet?"
Gitu. Ngeselin, nggak sih?
Gitu. Ngeselin, nggak sih?
Kami juga nggak jarang berdebat soal topik yang sama
berulang-ulang. Aku selalu yakin kalo baca novel itu jauh lebih asyik ketimbang
nonton versi film nya. Kenapa? Karena bagiku tulisan yang dijajakan tanpa ilustrasi itu
bakal bisa lebih menantang kepekaan rasa dan imajinasi para pembacanya.
Sebaliknya, Mar benci dengan hal-hal yang berkaitan dengan imajinasi. Dia nggak suka kalau harus memikirkan bayang-bayang yang subjektif dan nggak berwujud di dalam kepalanya. Menurutnya, ilustrasi yang digambarkan dalam tayangan film juga sudah bisa cukup mewakilkan semua sudut pandang dan perasaan para penontonnya.
Sebaliknya, Mar benci dengan hal-hal yang berkaitan dengan imajinasi. Dia nggak suka kalau harus memikirkan bayang-bayang yang subjektif dan nggak berwujud di dalam kepalanya. Menurutnya, ilustrasi yang digambarkan dalam tayangan film juga sudah bisa cukup mewakilkan semua sudut pandang dan perasaan para penontonnya.
Ah, pusing.......
Capek kalau udah debat sama Mar, tuh. Nggak akan ada habisnya kecuali kita yang menyerah dan ngikut sama kemauannya dia. Daripada diungkit terus nantinya, lebih baik iyain aja udah supaya dia seneng.
Pokoknya, Mar dan aku bener-bener nggak cocok. Nggak, nggak, nggak. Sama sekali nggak.
Capek kalau udah debat sama Mar, tuh. Nggak akan ada habisnya kecuali kita yang menyerah dan ngikut sama kemauannya dia. Daripada diungkit terus nantinya, lebih baik iyain aja udah supaya dia seneng.
Pokoknya, Mar dan aku bener-bener nggak cocok. Nggak, nggak, nggak. Sama sekali nggak.
Dari hobi aja kita udah nggak sama. Aku suka gambar, dia suka main musik. Aku suka hampir semua jenis lagu yang penting enak, dia cuma dengerin lagu-lagu Queen sama instrumen klasik. Di saat semua laki-laki di dunia keranjingan sama mobile atau PC games, Mar nggak tertarik untuk bahkan mengunduhnya sama sekali. Katanya buat apa, nggak ada manfaatnya. Dia lebih pilih main piano, gitar, atau kecapi di rumah.
Coba kasih tahu, sini. Di mana aku bisa bertemu lagi dengan laki-laki dengan selera unik kayak Mar?
Tapi justru, karena
perbedaan itulah yang bikin kami berdua malah jadi kayak permen karet sungguhan. Lengket, nempel terus. Di mana ada Mar, di situ akan ada aku, dan sebaliknya. Seperti dua kutub magnet yang berbeda, utara dan selatan. Kalau sekalinya didekatkan, keduanya malah akan jadi saling erat, kan?
Setelah hari itu, mungkin tanggal 1 April, setiap hariku adalah harinya Mar, dan hari-hari Mar adalah hariku juga. April akan sepenuhnya jadi tentang Mar, dan akan selalu jadi ceritanya Mar.
Mar, Mar, Mar aja terus yang dibahas. Pasti kalian udah bosen kan, bacanya. Tapi mau gimana lagi, rangkaian tahun paling chaos itu kan ulahnya Mar semua. Gara-gara dia juga aku jadi nulis blog lagi kayak gini. Gapapa, karena sudah bertemu dengan dia aku merasa jadi perempuan yang lebih kuat dan caraku memandang dunia pun jadi nggak stagnan lagi. Karena sudah bertemu dengan dia, aku jadi ngerti kalau aku nggak boleh mengulangi semua kebodohan itu lagi.
Setelah hari itu, mungkin tanggal 1 April, setiap hariku adalah harinya Mar, dan hari-hari Mar adalah hariku juga. April akan sepenuhnya jadi tentang Mar, dan akan selalu jadi ceritanya Mar.
Mar, Mar, Mar aja terus yang dibahas. Pasti kalian udah bosen kan, bacanya. Tapi mau gimana lagi, rangkaian tahun paling chaos itu kan ulahnya Mar semua. Gara-gara dia juga aku jadi nulis blog lagi kayak gini. Gapapa, karena sudah bertemu dengan dia aku merasa jadi perempuan yang lebih kuat dan caraku memandang dunia pun jadi nggak stagnan lagi. Karena sudah bertemu dengan dia, aku jadi ngerti kalau aku nggak boleh mengulangi semua kebodohan itu lagi.
Intinya, aku pikir Mar cuma laki-laki biasa biasa saja
yang hobi memperdebatkan volume air sungai atau asal usul pembentukan bumi. Namun kenyataannya semesta mengirim Mar untuk nggak
sekadar jadi ‘laki-laki biasa biasa yang hobi memperdebatkan volume air sungai atau asal usul pembentukan bumi’. Lebih
dari itu. Pada kenyataannya, Mar datang untuk memperdebatkan, mengutak-atik,
mengacak-acak, mencampur-adukan, menjungkir-balikan perihal lain yang nggak pernah tersentuh nalarku sebelumnya;
perihal rasa.
---
Mau kuberitahu satu rahasia?
Sebenarnya bulan ini adalah bulan lahir Mar, entah dia peduli aku mengingatnya atau nggak. Nggak masalah.
Mar nggak pernah tahu. Sejujurnya, di hari itu satu tahun yang lalu, aku terjaga sampai dini hari. Menunggu jarum jam sampai di angka dua belas, menanti tanggal hari di kalender berubah jadi bentuk angka lain. Kalau dipikir-pikir, kenapa aku harus se-excited itu sih, menanti hari ulang tahun yang bahkan bukan hari ulang tahunku sendiri?
Sebenarnya bulan ini adalah bulan lahir Mar, entah dia peduli aku mengingatnya atau nggak. Nggak masalah.
Mar nggak pernah tahu. Sejujurnya, di hari itu satu tahun yang lalu, aku terjaga sampai dini hari. Menunggu jarum jam sampai di angka dua belas, menanti tanggal hari di kalender berubah jadi bentuk angka lain. Kalau dipikir-pikir, kenapa aku harus se-excited itu sih, menanti hari ulang tahun yang bahkan bukan hari ulang tahunku sendiri?
Jawabannya aku juga nggak tahu. Mungkin aku kesambat sesuatu.
Tepat pukul 00.01 di hari ulang tahunnya yang kedelapan belas, aku menerbangkan doa-doa indahku ke angkasa. Sempat terlintas harapan-harapan yang egois. Berharap semoga pesanku jadi pesan pertama yang Mar dapatkan di hari itu. Berharap semoga aku akan selalu jadi yang pertama, dan terus menjadi satu-satunya yang utama walaupun kedengarannya mustahil untuk dikabulkan.
Ada lagi rahasia lain yang kusembunyikan selama satu tahun ini.
Mar nggak akan pernah tahu. Sejujurnya, di hari itu satu tahun yang lalu, ada hadiah kecil yang seharusnya bisa dia bawa pulang.
Nggak mahal, nggak istimewa juga. Nggak terlalu penting sih, sebenernya. Di atas hadiah itu sudah aku tulis surat ucapan kecil yang mungkin bisa jadi sedikit penyemangat pada masanya. Tapi, lagi-lagi nyatanya aku nggak seberani itu. Sejak awal kami bertemu sampai akhirnya berpamitan untuk pulang di penghujung sore, aku masih nggak berani untuk mengeluarkannya dari dalam tas dan memberikannya langsung pada Mar.
Ah, malu. Kita kan belum sedekat itu.. pake ngasih hadiah segala.
Tapi haruskah? Apa tidak usah?
Nggak, deh. Dikasih atau nggak, kayaknya ekspresinya juga nggak bakal berubah. Ucapan selamat ulang tahun sudah cukup.
Tapi aku udah nyiapin ini semua, sayang kalau nggak jadi.
Andaikan batin bisa bersuara, pasti kamu sudah tutup kuping pakai earphone biar nggak kedengaran. Berisik banget di dalam sini, seperti ada yang lagi tawuran. Pikiranku berdebat dengan dirinya sendiri, Mar. Berdebat sampai gila cuma demi menemukan jawaban sesimpel 'ya' atau 'tidak' selama seharian.
Nggak, deh. Dikasih atau nggak, kayaknya ekspresinya juga nggak bakal berubah. Ucapan selamat ulang tahun sudah cukup.
Tapi aku udah nyiapin ini semua, sayang kalau nggak jadi.
Andaikan batin bisa bersuara, pasti kamu sudah tutup kuping pakai earphone biar nggak kedengaran. Berisik banget di dalam sini, seperti ada yang lagi tawuran. Pikiranku berdebat dengan dirinya sendiri, Mar. Berdebat sampai gila cuma demi menemukan jawaban sesimpel 'ya' atau 'tidak' selama seharian.
Pada akhirnya, surat kecil itu nggak pernah
sampai di tangannya. Hadiah itu juga nggak pernah dia lihat seperti apa bungkusnya.
Mar nggak pernah tahu bahwa pada sore hari yang mendung itu, seharusnya dia
nggak pulang ke rumah dengan tangan kosong.
Maaf, Mar. Aku adalah perempuan yang penuh dengan keragu-raguan.
Satu tahun yang lalu tepat di hari ulang tahunmu,
aku nggak merasakan apapun selain penyesalan. Suratku nggak pernah sampai..
.. dan kamu
nggak akan pernah tahu apa isinya.
---
"Kamu tahu apa yang lebih membingungkan dari soal matematika?"
"Soal fisika."
"Salah,"
"Soal kimia?"
"Bukan."
"Memangnya apa lagi yang lebih rumit?"
"Soal April. Soal rasa. Soal kita."
---
Malam itu sedang dingin dinginnya di bawah pegunungan Manglayang dan aku nggak bisa tidur di kamarku.
Ada yang nggak seharusnya diucapkan tapi terlintas di dalam benak. Ada yang nggak seharusnya dirasakan tapi lolos ke dalam hati. Aku memikirkan itu beribu-ribu kali tapi nggak bisa kutemukan apa jawabannya.
Hanya resah. Hanya rindu.
Hanya resah. Hanya rindu.
Sejujurnya malam itu, aku sama
sekali nggak belajar materi ekonomi seperti yang kamu suruh sebelum kita
berpamitan di pertigaan jalan.
Aku tahu aku memang payah soal hitung hitungan dan kamu sudah pasti
jagonya, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih mendesak untuk dipelajari
dengan khusyuk ketimbang harus membahas kurva permintaan dan penawaran pada malam itu:
perihal perasaanku padamu yang kian membingungkan dan menyulitkan.
Berawal dari satu nama yang entah bagaimana muncul di tengah purnama, lalu jadilah sebuah puisi pendek yang lahir di bulan April. Puisi yang sangat egois, sama sepertimu.
Semua kata yang dibubuhkan di dalamnya adalah hasil akhir dari revisi berlembar-lembar yang tadinya cuma ingin kusimpan sendirian. Aku nggak yakin apakah puisi yang ditulis dalam keadaan kusut itu adalah tentangmu, atau justru sebenarnya itu adalah serangkaian deskripsi penglihatanku yang
mulai memandangmu dari sudut pandang berbeda. Sudut pandang yang paling jujur, atau aku menyebutnya dengan sudut pandang rasa.
“Teruntuk Setiap Awal Baitnya,” bisikku
sebelum jatuh ke peraduan.
“Masa bodoh. Aku nggak yakin Mar mau baca.”
---
Hai. Maaf.
April tahun kemarin aku jadi sering
mengoceh yang nggak jelas. Ekspresiku pasti banyak membingungkanmu, ya?
Maaf karena sudah mencoba memaksamu agar mau mendengarkanku.
Maaf karena sudah memaksamu agar turut tenggelam dalam lautan kalimat aneh yang kuciptakan.
Maaf karena sudah mencoba menarikmu masuk ke dalam labirinku yang saat itu masih terjalin
abstrak oleh benang-benang kusut warna-warni.
Maaf, aku mau mengoreksi. Sebetulnya nggak ada yang namanya ocehan yang
nggak jelas. Semua yang kukatan waktu itu ada maknanya, lambat laun mungkin kamu juga akan paham. Hanya saja kamu nggak pernah sadar bahwa semua itu adalah tentang
kamu. Kamu nggak pernah paham bahwa semua kata-kata itu aku rancang dengan sengaja
cuma biar kamu mengerti. Tapi di pikiranmu cuma ada rumus rumus eksak.
Mar, pada siang hari itu di bulan April, aku ingin
kamu tahu bahwa aku benar-benar sudah terjatuh. Dan seperti yang tertulis di bait ketujuh pada baris terakhir,
ini nggak terbantahkan lagi.
---
Ternyata sudah sampai sejauh ini memoriku teracak-acak lagi.
Sebagai konklusi, April adalah soal benih yang baru tumbuh. Soal kebingungan. Soal warna abu-abu yang tiba-tiba muncul di antara hitam dan putihnya dunia.
April membuatku bingung karena sudah menumbuhkan sesuatu yang padahal aku sendiri nggak pernah minta untuk ditumbuhkan.
April membuatku bingung dengan situasi dan waktu yang kelihatannya nggak memungkinkan keberadaan ruang untuk bisa menjalin apapun di sana.
April membuatku bingung soal kamu yang seolah-olah iya padahal tidak, atau
seolah-olah tidak padahal iya.
April mengharuskan aku menerka-nerka reaksimu
yang terlihat seperti nggak bereaksi apa-apa padahal sebenarnya kamu punya
jawabannya. Iya. Jawaban dari semua kebingungan ini, tentunya.
Terima kasih, April.
Kamu menyenangkan tapi juga menyebalkan dalam satu waktu.
---
Udah, gapapa.
Semua ini kan nggak baru terjadi kemarin sore. Satu tahun rasanya sudah lebih dari cukup untuk bisa bangkit lagi dan beradaptasi sama dunia baru. Mar sendiri yang bilang padaku, bahwa semua ini cuma masalah
adaptasi.
"Perlakuan manusia yang sudah lalu nggak bisa kita ubah, tapi cara kita
mengatasinya bisa."
Sampai jumpa lagi di bulan Mei. :)
Selamat ulang tahun buat Mar yang hobi mengiyakan tapi tidak pernah dilaksanakan.[]
-----------------------------------------------
In case you missed it:
aku mau nangis bacanya:(
ReplyDeleteKamu nggak sendirian:(
DeleteHobi mengiyakan tp gapernah melaksanakan yaa:(
ReplyDeleteHahaha
DeleteBener-bener bikin terbawa suasana:(
ReplyDeleteSedih, tapi berhasil bikin kamu jadi lebih kuat:)
Makasih, ya:)
Deleteaku paham betul rasanya se susah apa, membuka memori lama terus membagikannya buat kebaikan bersama. selamat dan terimakasih yaa, mau berbagi hal hal baik walau ngga mudah. trimakasi juga sudah bertahan sejauh dan sekuat iniii! sooo proud of youu💖
ReplyDeleteLiterally crying😭😭😭 thanks a lot!!! ❤️❤️
Deletebuat mar, walau km gasuka baca, km wajibbb baca inii heyy. @mar @mar @mar
ReplyDeletehehehe
Sukakk<3
ReplyDeleteterima kasih ya udah baca!♡♡
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete