Hai, Maret. Apa kabarmu tahun ini?
Baru setengah
perjalanan kita lalui bersama, semoga hari-hari ke depannya kita tetap
baik-baik saja. Senang ya, ternyata jatah usiaku masih sampai untuk bisa menyapamu
lagi. Sekadar info, sejujurnya aku agak merindukanmu.. Ada banyak momen seru
antara kita berdua.
Kamu ingat, kan?
Dua tahun yang lalu, kita pernah mengukir sejarah besar bersama. Perjalanan singkat penuh makna yang terus terkekang dalam memori. Entah aku yang membawamu saat itu, atau justru itu kamu yang memaksaku terbang terlampau jauh. Kamu menculikku 3.237 kilometer dari rumah. Mengajakku makan malam di Bangkok dan berkeliaran di Pattaya, berjalan-jalan sore sambil menikmati matahari terbenam paling indah di atas perahu mesin di Sungai Chao Phraya.
Kamu ingat, kan?
Dua tahun yang lalu, kita pernah mengukir sejarah besar bersama. Perjalanan singkat penuh makna yang terus terkekang dalam memori. Entah aku yang membawamu saat itu, atau justru itu kamu yang memaksaku terbang terlampau jauh. Kamu menculikku 3.237 kilometer dari rumah. Mengajakku makan malam di Bangkok dan berkeliaran di Pattaya, berjalan-jalan sore sambil menikmati matahari terbenam paling indah di atas perahu mesin di Sungai Chao Phraya.
Maret, kamu ingat Pak George? Laki-laki paruh baya asal
Jerman yang duduk sendirian di tepi pantai tanpa busana apa pun kecuali celana
dalamnya. Aku menghampirinya untuk sekadar berbasa-basi waktu itu, tapi siapa
yang menyangka bahwa kita akan duduk duduk sembari membicarakan banyak hal
selama lebih dari 1 jam dalam bahasa Inggris? Hahaha! Aku nggak pernah tahu kalau
aku ternyata mampu mengobrol selama itu pakai bahasa asing yang jauh dari kata
fasih.
Terima kasih sudah mengenalkanku pada Pak George, dia
orang yang ramah dan sangat terbuka. Meski tak lagi muda, hobinya sama
sepertiku: traveling dan mengunjungi banyak tempat menarik di dunia. Sayangnya,
dia belum pernah berkunjung ke Indonesia. Jadi saat itu, aku mengundangnya
untuk menikmati pantai-pantai cantik dan gunung-gunung indah di Indonesia kapan
saja dia mau. Selama satu jam penuh makna itu, kami bercerita soal banyak hal. Berbagi
pendapat soal tempat-tempat wisata di Asia Tenggara, berpendapat tentang
pendidikan dan rekomendasi jurusan di universitas, berbagi pandangan tentang
agama dan bagaimana dia begitu toleran terhadap umat muslim.. sebuah pembicaraan
yang aku pikir begitu berbobot untuk anak usia 16 tahun, dan juga untuk ukuran pertemuan
pertama. Tapi aku menyukainya, pembicaraan kami di tepi pantai sore itu.
Setelah dipikir-pikir, Maret dua tahun lalu memang
yang paling berani. Dia membawaku berkeliling ke banyak tempat dan menantangku
untuk berteman dengan orang-orang baru. Dalam Maret, aku juga bertemu sosok
Greta, seorang gadis remaja cantik dari China. Mungkin usianya sekitar 20-an.
Aku nggak sempat bertanya apakah dia seorang mahasiswi atau sudah lulus dan
bekerja. Kami tidur di satu ruangan yang sama, makanya sering bertemu dan
mengobrol tentang banyak hal pada malam hari. Dia pernah bercerita tentang
bagaimana dia menempuh perjalanan seorang diri untuk mengunjungi bibinya di
Thailand. Greta juga suka dipijat. Aku selalu tersenyum setiap kali dia
menanyakan padaku bagaimana cara melafalkan kata ‘pijat’ dalam bahasa Inggris,
hahaha. Dia seorang kakak perempuan yang baik dan menyenangkan. Aku harap Greta
baik-baik saja di mana pun dia berada sekarang.
Sebenarnya, masih banyak pengalaman lain yang ingin
aku bagi dari Maret dua tahun yang lalu. Rasa rasanya, setiap harinya punya
kisah tersendiri yang unik dan menarik untuk diceritakan. Bagaimana tidak, saat
itu adalah pertama kalinya aku berangkat ke luar negeri, bermodalkan uang
pas-pasan, dan sudah tanpa pengawasan orang tua meski pun saat itu aku belum
punya KTP. Ceritanya begitu banyak, di samping pengalaman yang menyenangkan,
ada banyak juga kesulitan dan kebodohan yang pernah aku lalui. Banyak sekali. Mungkin
sisanya bisa aku bagikan di cerita yang lain, ya, haha. Memang, pengalaman pertama
itu selalu tak terlupakan.
Tapi kembali lagi, kita sedang bicara soal Maret. Dan
karena kita bicara soal Maret, ada Maret lain yang ingin kupaparkan kisahnya.
Maret dua ribu sembilan belas. Tepat satu tahun yang lalu saat usiaku masih tujuh belas, Maret juga punya
cerita lain. Ya, meski pun kali ini bukan lagi tentang perjalanan baru ke
negeri-negeri baru, tapi aku pikir Maret yang kemarin cukup memberikan peranan
penting dalam satu rangkaian tahun paling chaos
yang pernah kualami dalam hidup.
Sebenarnya, memang nggak terlalu banyak hal yang
terjadi. Aku merasa terlalu terbebani oleh ribuan materi dan soal-soal yang
membuat semuanya jadi berbeda di Maret itu. Hanya saja, jika boleh kuceritakan
sedikit, aku sempat memikirkan seseorang di awal Maret setahun yang lalu selama
berhari-hari dan itu cukup mengganggu. Pikiranku dibuat pusing dan perasaanku
jadi campur aduk. Tanpa sebab apapun, tiba-tiba terpikir seseorang yang pernah
jadi topik teratas dalam jurnal harianku sekaligus orang yang nggak pernah lagi
aku cari setelah itu. Maret menggiringku bermuhasabah, membuatku berpikir
apakah aku memang punya salah..
Dan, ya. Maret benar. Ternyata selama ini aku hidup tanpa
mempedulikan kebodohanku empat tahun yang lalu. Mungkin bagiku hal sepele, tapi
dampaknya bisa jadi berkepanjangan dan aku nggak mau mengerjakan ujian negara
dengan bayang-bayang nggak jelas. Aku takut, doaku terputus karena ada doa lain
yang berisi kebencian terpendam tertuju untukku.
Terima kasih, Maret.
Kamu sudah mengajariku tentang bagaimana memperbaiki
yang rusak, merawat yang terbengkalai, mengikat kembali yang sudah putus. Kamu mengajari aku tentang betapa indahnya memaafkan dan dimaafkan, tentang menjadi manusia yang bertanggung jawab dan sadar diri, tentang
bagaimana aku harus bersikap dan menyikapi masa lalu dengan cara terbaik yang
pernah ada. Ya, Maret dua ribu sembilan belas punya peranan sehebat itu.
Maret.. Andai kamu ingat, setahun yang lalu kamulah
yang menjadi permulaan dari semua cerita yang nantinya akan tercipta. Andai
kamu tahu, akhirmu adalah awal paragraf baru untuk banyak lembaran kisah ke
depannya.. dan aku sudah siap, jadi aku akan mulai bercerita.
Maret sudah mengajariku banyak hal, mempertemukan aku
dengan banyak cerita, mencicipkan aku akan hal-hal baru yang sebelumnya nggak
pernah kualami. Termasuk mempertemukan aku dengan Mar, sosok laki-laki penuh
ambisi yang mengajarkanku soal manis dan pahitnya arti kehidupan.
Seperti yang kalian tahu, ada begitu banyak metode
untuk mempelajari hidup. Meski cuma satu kata, kehidupan itu lebih luas dari
apapun. Kadang kita baru bisa benar-benar mengerti setelah benar-benar
mengalami. Rasa suka memahamkan kita, rasa duka juga. Orang-orang datang dan
pergi, singgah dan pulang, hadir dan beranjak hanya untuk mengajarkan pada kita
tentang arti-arti lain dan memberikan sudut pandang yang berbeda dalam hidup.
Datangnya bisa dari mana saja, caranya bisa apa saja, karena pengalaman itu
nggak ada yang sama. Semuanya punya arti sendiri dan membawa pelajarannya
masing-masing.
"Dan untukku, Mar lah yang datang membawakannya. Melalui
Mar dan segala perasaannya, mungkin begitulah caraku diajari."
Jangan bayangkan Mar sebagai sosok laki-laki tinggi, atlet
basket, tampan, dan jago gombal seperti yang biasa digilai cewek-cewek satu
sekolah. Mar memang tinggi, tapi aku nggak pernah tahu kalau dia suka basket.
Mar nggak setampan itu dan dia juga payah soal merayu. Entah hal unik apa yang kutemukan
dalam dirinya, tapi Maret benar-benar membuatku ingin mengenal Mar lebih dekat.
Pertemuan pertama kami di bulan Maret, membawa banyak
suasana baru pada setiap senin sampai mingguku setelahnya. Maret pernah membawaku
berkunjung ke Institut Teknologi Bandung bersama Mar, tempat yang awalnya ingin
kami tuju bersama. Iya, dulu kami memang hampir berencana untuk menjadi satu
tempat pulang. Tapi, mungkin sekarang Mar dan aku nggak lagi searah. Kami ada
di jalan berbeda, menempuh cerita hidup kami masing-masing untuk menemukan
rumah kami yang sesungguhnya. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa
depan. Untuk berbuat baik tanpa mengharapkan apapun, untuk tidak perlu malu jika
ingin meminta tolong, menjadi beberapa pelajaran berharga yang Mar berikan
padaku di bulan Maret.
Meskipun bulan bulan selanjutnya tidak akan lagi sesingkat
Maret yang lugu, tetap saja Maret yang sudah mengenalkan aku pada Mar,
mengenalkan Mar padaku. Mengenalkan kami berdua, pada satu rangkaian prolog yang
sama, yang sempat kukira akan berakhir pada epilog yang sama juga.
Terima kasih, Maret. Tulisan ini memang tentangmu. Tentang
bagaimana kamu bisa membawaku ke tempat-tempat baru bersama orang-orang baru.
Tentang bagaimana kamu mengajariku arti sebuah pertemuan sebelum kemudian bulan-bulan
setelahmu akan mengenalkanku pada kata berpisah.
Tulisan ini akan aku akhiri sampai di sini, pada bab terakhir cerita kita di
bulan Maret. Pada bab awal pertemuan aku dan Mar satu tahun yang lalu..
.. yang akan berlanjut di bulan April.[]
-----------------------------------------------
In case you missed it:
-----------------------------------------------
In case you missed it:
weeiii harus dibikin novel inimahh kepo parah si aku kelanjutannya gmnn :(
ReplyDeleteHehe, sampai ketemu lagi di bulan April :)
DeleteMar, ku kira kisahmu dan penulis tidak sesingkat itu kan?
ReplyDeleteBulan April cepatlah datang, aku ingin segera menceritakannya padamu🥺
DeleteSukaaaak🖤
ReplyDeleteTerima kasih, cantik!❤
ReplyDelete